SUDUT WAKTU DAN WAKTU ISTIWA’

28 11 2010

I. PENDAHULUAN

Penentuan awal waktu shalat merupakan bagian dari ilmu falak yang perhitungannya ditetapkan berdasarkan garis edar matahari atau penelitian posisi terhadap matahari. Sudah jelas dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan bahwa shalat yang diwajibkan maupun yang disunahkan bagi kaum muslimin mempunyai waktu-waktu tersendiri yang sudah ditetapkan.

Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu” ( Q.S. An-Nisa’ :103 )

“Dirikanlah shalat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah shalat subuh sesungguhnya shalat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”. ( Q.S. Al-Isra’ : 78 )

Dengan berkembangnya peradaban manusia yang didukung dengan perkembangan IPTEK, berbagai kemudahan-kemudahan diciptakan untuk membuat manusia lebih praktis dalam segala hal termasuk dalam beribadah khususnya shalat fardhu. Saat ini kita mengetahui banyak sekali diterbitkan jadwal waktu shalat dari berbagai instansi maupun organisasi antara lain; Departemen Agama, PP Muhammadiyah, PP Persis, PP Nahdatul Ulama (NU) dsb. Namun kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari kaidah yang sebenarnya digunakan untuk menentukan waktu shalat yaitu “Pergerakan Matahari ” dilihat dari bumi.

Pada zaman Rasulullah waktu shalat ditentukan berdasarkan observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung matahari. Lalu berkembang dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari serta Jam Istiwa atau seing disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan matahari.

Dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang lingkaran waktu yang akhirnya menghasilkan sudut waktu ketika diapit dengan lingkaran meridian. Selain itu juga membahas tentang waktu istiwa’ atau waktu hakiki dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.

II. PEMBAHASAN

A. LINGKARAN WAKTU

Perjalanan matahari menurut arah dari timur ke barat yang menyebabkan pergantian siang dan malam bukanlah perjalanan yang hakiki, namun hal tersebut disebabkan adanya rotasi bumi yang dari arah barat ke timur selama 24 jam untuk sehari semalam. Hal tersebut mengakibatkan semua benda langit yang berada di sekitar bumi tampak berjalan dari timur ke barat tegak lurus dengan poros bumi.[1]

Dari Kutub Langit Utara ke Kutub Langit Selatan dapat dibuat lingkaran-lingkaran yang jumlahnya tidak terbatas, yang semuanya tegak lurus pada lingkaran equator. Lingkaran-lingkaran ini disebut lingkaran waktu. Jadi yang dimaksud lingkaran waktu adalah lingkaran besar yang ditarik dari Kutub Langit Utara ke Kutub langit Selatan tegak lurus dengan lingkaran khatulistiwa langit.[2] Diantara sekian banyak lingkaran waktu, ada satu lingkaran yang istimewa yaitu terdapat di dalamnya garis vertikal (lingkaran yang melewati titik Z dan N), garis khatulistiwa (titik E dan Q) dan garis horizon (titik U dan S, yaitu lingkaran meridian..[3]

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Dr. Susiknan Azhari dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, bahwa yang dimaksud lingkaran waktu adalah lingkaran pada bola langit yang menghubungkan kedua titik kutub. Dimana lingkaran yang menghubungkan dua kutub ini berpusat pada bola langit.[4]

Perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar I:

 

Keterangan:

EQ = Equator

Ku = Kutub utara

Ks = Kutub selatan

Lingkaran yang menghubungkan KU-Ks = Lingkaran waktu[5]

Semua lingkaran waktu yang terlihat dalam gambar I tersebut membentuk sudut 90 terhadap lingkaran Khatulistiwa.[6]

 

B. SUDUT WAKTU

Sudut waktu adalah setiap lingkaran waktu yang membuat sudut dengan lingkaran merindian. Semua benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama, berlaku hukum bahwa jarak waktu yang memisahkan mereka dari kedudukan mereka sewaktu berkulminasi adalah sama. Sudut waktu berharga positif (+) jika benda langit bersangkutan berkedudukan di belahan langit sebelah barat dan berlaku sebaliknya, jika benda langit sedang berkulminasi sudut waktu = 0°, seterusnya besar sudut waktu diukur dengan derajat sudut dari 0° sampai 180°.[7]

Dalam pengertian yang sederhana setiap lingkaran waktu membuat sudut dengan lingkaran meridian. Sudut yang diapit oleh lingkaran meridian dengan lingkaran waktu disebut sudut waktu (Arab: السوائية زوية, Inggris: Hour Circle atau Hour Angle), yang biasanya diberi tanda t.

Sudut tersebut dinamakan sudut waktu, karena setiap benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama berlaku kaidah: bahwa jarak waktu yang memisahkan benda-benda langit dari kedudukannya sewaktu berkulminasi adalah sama.[8] Maksudnya adalah bahwa benda-benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama, berkulminasi pada waktu yang sama pula. Besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi.[9]

Perhatikan gambar berikut:

Gambar II:

 

 

Keterangan:

EQ = Equator

Z = Zenith

N = Nadir

U = Utara

S = Selatan

Ku = Kutub Utara

Ks = Kutub selatan

Dari gambar di atas tampak dapat kita lihat, bahwa sudut ZKuKs adalah sudut yang dibentuk oleh lingkaran waktu dan lingkaran meridian, sudut tersebut adalah sudut waktu.

Besarnya sudut waktu itu menunjukkan tentang berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit yang bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Pada saat benda langit berada di titik kulminasi atas, maka waktu benda langit adalah 0°.

Apabila benda langit sedang berkedudukan di belahan langit bagian barat, maka sudut waktunya diberi tanda positif, begitu sebaliknya jika berkedudukan di belahan langit timur maka sudut waktunya diberi tanda negatif.

Besar sudut waktu berkisar antara 0° sampai 180°, untuk setiap jam rata-rata sudut waktu berubah 15°. Hal ini disebabkan karena perputaran benda-benda angkasa yang disebabkan perputaran bumi pada porosnya, rata-rata untuk satu kali putaran memerlukan waktu sekitar 24 jam.[10] Dengan demikian dapatlah jumlah derajat sudut waktu dipindahkan menjadi jumlah jam,menit dan detik, karena:

360°     = 24 jam                      15’       = 1 menit

15°       = 1 jam                        1’         = 4 detik[11]

1°         = 4 menit

Nilai sudut waktu selain menggunakan 0º-180º, ada juga yang menggunakan 0º -360º dengan nilai di atas 180º bernilai negatif, yang kedua ini bisa dijumpai dalam Almanac Nautica, namun keduanya sama saja.

Menurut Susiknan besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit yang bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi.[12]

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa nilai sudut waktu adalah antara 0° sampai 180º, nilai sudut waktu 0° ketika matahari berada di titik kulminasi atau tepat di meridian langit, sedangkan nilai sudut waktu 180º ketika matahari berada di titik kulminasi bawah. Nilai sudut waktu matahari ini dapat dihitung dengan rumus:

 

 

 

Keterangan:

t = sudut waktu                       f = lintang tempat

d = deklinasi matahari             h = tinggi matahari[13]

Sudut waktu dipengaruhi oleh bujur, namun dalam rumus tetap melibatkan lintang karena untuk menghitung tinggi matahari membutuhkan lintang. Setiap lintang yang berbeda maka tinggi matahari pun berbeda, selain itu ketika terjadi pergeseran KLU-KLS maka tinggi matahari juga berubah. Sudut waktu dapat dihitung mulai dari meridian sampai pada sudut yang terdekat dengan titik zenith.[14]

Contoh:[15]

Mencari sudut waktu untuk kota Bandung pada tanggal 1 Januari 2005, yang nantinya untuk menghitung awal waktu shalat Ashar sebagai berikut:

ϕ       : -6º 57′ LS

h        : 37º 50′

d : -22º 59′ 05″

 

 

 

 

 

 

Cos t  = 51º 43′ 16.21″ / 15

 

 

= 3 jam 26 menit 53.08 detik

Untuk mengkonversi nilai sudut waktu (t) menjadi satuan waktu dengan cara t  : 15, selanjutanya hasil dari nilai sudut waktu matahari berguna untuk menghitung awal waktu shalat.[16]

C. WAKTU ISTIWA’ ATAU HAKIKI

Sebagaimana dalam pembahasan gerak bumi bahwa gerak rotasi bumi untuk sekali putaran membutuhkan waktu rata-rata 24 jam, dengan kata lain dalam sehari semalam membutuhkan waktu 24 jam. Dikatakan rata-rata, karena waktu yang digunakan untuk mengukur itu dasarnya adalah perjalanan harian matahari, sedangkan perjalanan matahari tidak tetap. Maksudnya, untuk sehari-hari terkadang membutuhkan waktu lebih dari 24 jam dan terkadang kurang dari 24 jam.

Dalam istilah lain waktu istiwa’ atau hakiki juga disebut dengan waktu surya. Istiwa adalah fenomena astronomis saat posisi matahari melintasi meridian langit. Dalam penentuan waktu shalat, istiwa digunakan sebagai pertanda masuknya waktu shalat Dhuhur.  Pada saat tertentu di sebuah daerah dapat terjadi peristiwa yang disebut Istiwa Utama atau ‘Istiwa A’dzam yaitu saat posisi matahari berada tepat di titik Zenith (tepat di atas kepala) suatu lokasi dimana peristiwa ini hanya terjadi di daerah antara 23,5˚ Lintang Utara dan 23,5˚ Lintang Selatan.

Istiwa Utama yang terjadi di kota Makkah dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin di negara-negara sekitar Arab khususnya yang berbeda waktu tidak lebih dari 5 (lima) jam untuk menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan matahari. Istiwa A’dzam di Makkah terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Makkah dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 Waktu Makkah pada tahun-tahun biasa. Sedangkan untuk tahun-tahun Kabisat tanggal ini dapat maju 1 hari (27 Mei dan 15 Juli) seperti yang terjadi pada tahun 2008 ini.[17] Namun hal ini juga masih ada perbedaan pendapat, karena ada kalanya sebelum tanggal tersebut dan ada kalanya sesudahnya. Lebih lanjut dan lebih jelasnya tentang pembahasan istiwa’ a’dzam ini akan dibahas dalam makalah lain.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa waktu istiwa juga ada hubungannya dengan waktu shalat dhuhur, maka di sini juga akan dibahas sedikit tentang waktu shalat dhuhur. Waktu dhuhur disebut juga waktu zawaal terjadi ketika matahari sedikit tergelincir setelah berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan

Tengah Hari (midday/noon). Pada saat Istiwa, mengerjakan ibadah shalat (baik wajib maupun sunnah) adalah haram kecuali ada sebab-sebab tertentu. Waktu dhuhur tiba sesaat setelah Istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke arah Barat. Waktu tengah hari dapat dilihat pada almanak astronomi atau dihitung dengan menggunakan algoritma tertentu. Secara astronomis, waktu dhuhur dimulai ketika tepi piringan matahari telah keluar dari garis zenith, yakni garis yang menghubungkan antara pengamat dengan pusat letak matahari ketika berada di titik tertinggi (Istiwa). Secara teoretis, antara Istiwa dengan masuknya Dhuhur ( z° ) membutuhkan waktu 2 menit, dan untuk faktor keamanan biasanya pada jadwal shalat waktu Dhuhur adalah 4 menit setelah Istiwa terjadi atau z =1°.[18]

Perhatikan gambar III di bawah ini:[19]

 

Pada gambar tersebut tergambar dengan jelas bahwa waktu istiwa’ itu tepat ketika matahari berkulminasi, sedang waktu dhuhur terjadi beberapa menit setelah matahari tergelincir.

Kembali pada pembahasan awal, bahwa untuk mengetahui tentang lebih atau kurangnya perjalanan matahari sehari semalam dari jumlah 24 jam, diukur dengan perjalanan ”matahari khayalan” yang benar-benar sehari semalam menempuh jarak waktu 24 jam.

Apabila perjalanan matahari yang sebenarnya dibandingkan dengan perjalanan matahari khayalan, maka akan terdapat selisih waktu antara keduanya. Dan karena perjalanan matahari yang sebenarnya tidak tetap waktunya, maka selisih waktu antara matahari yang sebenarnya dengan matahari khayalan juga tidak sama besarnya.

Waktu yang berdasarkan perjalanan matahari yang sebenarnya disebut waktu surya atau waktu surya hakiki setempat (apparent solar time), atau waktu hakiki setempat. Sedangkan waktu yang didasarkan pada perjalanan matahari khayalan dinamakan waktu pertengahan atau waktu matahari pertengahan (mean solar time), atau waktu umum (civil time). Dinamakan waktu umum karena waktu inilah yang dipakai umum, misalnya RRI, TVRI dan arloji kita.

Adapun selisih waktu antar waktu hakiki dengan waktu pertengahan dinamakan perata waktu (eqution of time), biasanya diberi lambang huruf e kecil. Dengan demikian, maka perata waktu merupakan selisih antar sudut waktu matahari hakiki dengan matahari pertengahan.

Dengan uraian di atas, maka dapat dirumuskan:[20]

 

 

 

Atau:

 

 

Perata waktu atau equation of time yang merupakan selisih antara waktu kulminasi dengan matahari rata-rata ini diperlukan untuk menghisab awal waktu shalat.[21] Equation of time ini berfungsi untuk mengetahui kecepatan gerak matahari, ketika kecepatan matahari cepat maka bernilai plus (+) dan sebaliknya ketika lambat bernilai minus (-). Untuk lebih detail dan rinci, pembahasan mengenai perata waktu atau yang lebih dikenal dengan equation of time (e) dan waktu pertengahan akan dibahas pada makalah selanjutnya.

Contoh[22]: mencari waktu pertengahan untuk kota Bandung pada tanggal 1 Januari 2005 dengan diketahui:

e = -3 menit 31 detik

Waktu pertengahan = 12 – (- 3 menit 31 detik)

= 12 jam 3 menit 31 detik

Rumus di atas merupakan rumus untuk mencari waktu pertengahan waktu yang biasa kita gunakan sehari-hari. Sedangkan waktu hakiki bisa dicari dengan rumus di bawah ini:

Dengan ketentuan bahwa nilai t pada pukul 12.00 bernilai 0 karena berhimpit dengan meridian.

Contoh:

1.      t = 74º 50’

WH = 12 + 74º 50’

=  12 + 4 jam 59 menit 20 detik

=  16.59.20

 

2. t = -165º 10’

WH = 12 + (-165º 10’)

= 12 – 11 jam 0 menit 40 detik

= 00.59.20

III. KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa peredaran matahari ternyata sangat menentukan salah satu proses peribadahan seperti shalat baik yang diwajibkan maupun yang disunahkan bagi kaum muslimin. Meskipun ada sebagian orang yang menganggap sepele akan hal ini, tetapi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, menetapkan waktu shalat hanya dengan keyakinan saja sudah tidak relevan lagi.

Terkait dengan sudut waktu yang merupakan sudut hasil perpaduan antara lingkaran waktu dan lingkaran meridian ini juga termasuk salah satu komponen dalam perhitungan awal waktu shalat. Karena dengan sudut waktu dapat ditentukan perbedaan waktu dari kedudukan benda tersebut ketika berkulminasi. Selain sudut waktu, waktu istiwa’ atau dikenal dengan istilah waktu hakiki juga termasuk hal penting, karena dengan mengetahui waktu istiwa’ maka kita dapat mengetahui waktu-waktu dilarangnya shalat tanpa sebab-sebab tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan  (2008) Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hambali, Slamet (1988) Buku Praktis Ilmu Falak tentang Penentuan Awal Waktu Shalat Penentuan Arah Qiblat di Seluruh Dunia. Semarang.

Ismail, M. Syuhudi (1984) Waktu Shalat dan Arah Kiblat Dasar-dasar dan Cara Menghitung Menurut Ilmu Ukur Segitiga Bola. Ujung Pandang: Taman Ilmu.

Jamil, A (2009) Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi Arah Kiblat, Awal Waktu Shalatdan Tahun (Hisab Kontemporer). Jakarta: AMZAH.

Khazin, Muhyiddin (2004) Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.

Rachim, Abd. (1983) Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty.

Supriatna, Encup (2007) Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung: Refika Aditama.

http://nourly-samitha.blogspot.com/2010/02/resume-ilmu-falak.html

http://mutoha.blogspot.com/2008/05/rashdul-qiblat-2008.html

http://www.rukyatulhilal.org/waktu-shalat/index.html


[1] Slamet Hambali, Buku Praktis Ilmu Falak tentang Penentuan Awal Waktu Shalat Penentuan Arah Qiblat di Seluruh Dunia (Semarang, 1988), 15.

[2] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat Dasar-dasar dan Cara Menghitung Menurut Ilmu Ukur Segitiga Bola (Ujung Pandang: Taman Ilmu, 1984), 28-29.

[3] Ibid., 15.

[4] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),133.

[5] A. Jamil, Ilmu Falak(Teori dan Aplikasi Arah Kiblat, Awal Waktu Shalatdan Tahun (Hisab Kontemporer) (Jakarta: AMZAH, 2009), 14.

[6] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat……………….,28-29.

[8] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………..,29.

[9] Abd. Rachim, Ilmu Falak (Yogyakarta: Liberty, 1983), 7.

 

[10] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………………,29-30.

[11] Abd. Rachim, Ilmu Falak………………….,7.

[12] Susiknan Azhari, Ensiklopedi…………………………., 195.

[13] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), 81.

[14] Disampaikan oleh KH. Slamet Hambali pada mata kuliah Astronomi Bola pada tanggal 19 April 2010.

[15] Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya (Bandung: Refika Aditama, 2007), 39.

[16] Ibid., 94.

[20] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………..,63-65.

[21] Encup Supriatna, Hisab Rukyat……………….., xii.

[22] Ibid., 33.


Actions

Information

Leave a comment