KONTEKSTUALISASI IJMA’ PADA MASA MODERN

22 01 2011

I. PENDAHULUAN

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah Al-Qur’an dan Hadits, ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’. Namun ada beberapa komunitas umat Islam yang tidak mengakui dengan adanya ijma’ yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri.

Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.  Khalifah Umar Ibnu Khattab misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Terkait ulama’ yang mengakui adanya ijma’, ada beberapa yang masih bertentangan tentang kehujjahannya untuk dijadikan sumber dalam pengambilan hukum, hal ini disebabkan karena dalam pelaksanannya saja  sudah menuai perbedaan. Beberapa kelompok meyakini bahwa ijma’ yang bisa dijadikan hujjah yaitu ijma’ yang terjadi di kalangan sahabat saja dan beberapa ulama’ ada yang berargumentasi bahwa ijma’ masih bisa dilakukan pada masa-masa setelah sahabat. Apalagi pada masa sekarang yang banyak bermunculan permasalahan baru yang membutuhkan jawaban, sehingga ijma’ atau istimbath hukum dengan jalan muayawarah sangat  diperlukan yang nantinya akan menemukan titik terang dalam menyelesaikan persoalan. Ijma’ sangat erat kaitannya dengan ijtihad, karena ijma’ berawal dari gagasan atau ide yang muncul dari berijtihad.

Dalam menyelesaikan persoalan baru yang berkembang di masyarakat, ijtihad individu atau ijtihad fard sepertinya belum cukup akurat, tetapi ada tawaran baru yaitu dengan bersatunya mujtahid-mujtahid individu ke dalam ijtihad jama’i atau sekarang lebih populer dengan sebutan ijtihad kolektif. Karena bahwa dengan ijtihad secara bersama-sama lebih mendekati kebenaran dalam mengambil kesimpulan suatu permasalahan, selain itu notabenenya ijma’ juga dilakukan secara bermusyawarah diantara para ulama’. Namun, dengan solusi ini juga tidak akan lepas dari yang namanya pertentangan dan perbedaan pendapat. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis berusaha membahas apa yang dimaksud ijtihad kolektif, syarat-syaratnya sampai pada lembaga-lembaga aplikasi ijtihad kolektif. Sebelum menuju ke sana penulis akan membahas terlebih dahulu tentang konsep ijma’.

II. PEMBAHASAN

A. KONSEP IJMA’

1. Definisi Ijma’

Secara etimologi, ijma’ (الإجماع) berarti kesepakatan atau konsesnsus. Ijma’ juga berarti (العزم على شيء) ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Perbedaan antara pengertian pertama dengan yang kedua terletak apada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.

Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul fiqh. Jumhur ulama’ ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, Abu Zahrah dan Wahhab Khalaf merumuskan ijma’  dengan kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya beliau terhadap suatu hukum syara’, dan Abu Zahra menambahkan diakhir definisinya dengan “yang bersifat amaliyah”.[1]

2. Rukun dan Syarat-Syarat terjadinya Ijma’.

Jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu:

a.       Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.

b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia.

c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya.

d.      Hukum yang disepakati itu adalah hukum  syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.

e.       Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan atau hadits Rasulullah.

Disamping kelima rukun di atas, jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan syarat ijma’: yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijma’, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agama), dan para mujtahid yang terlibat adalah orang yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.[2]

3. Pembagian ijma’.

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’ sharih (jelas) dan ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama’):[3]

a.       Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh para mujtahid baik dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah tertentu, setiap para mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma’ seperti ini langka terjadi, apalagi dalam suatu majlis yang dihadiri oleh semua mujtahid pada suatu masa tertentu, sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Tetapi jumhur ulama’ ushul berpendapat apabila hal ini terjadi dan menghasilkan suatu kesepakatan maka bisa dijadikan sebagai  hujjah syar’iyah dengan tanpa khilaf dan kekuatan hukumnya bersifat qath’i.

b.      Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat  apakah termasuk hujjah syar’iyah atau tidak:

  • Menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.
  • Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’ sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya ijma’ dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan lainnya diam.

Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyah dan Hanabilah:

§  Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.

§  Adalah tidak layak jika ulama atau ahli fatwa tidak mendengar adanya fatwa lain, dan ulama lain harus mempelajarinya dan menanggapinya jika ada kesalahan dalam hasil ijtihadnya. Disamping itu, apabila para ulama’ lain yang tidak mengeluarkan fatwa menganggap fatwa itu menyimpang dari nash atau metode yang digunakan tidak sesuai dan mereka diam maka mereka berdosa.

Menurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzanniyah.[4]

4. Kemungkinan Terjadi Ijma’

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan, ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:

Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:

a.       Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.

b.      Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.

Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dzanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.

5. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan dan apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.

Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.

Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.

Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.

a. Kehujjahan ijma’ sharih

Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka itu menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Hal ini berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 115:

Artinya :

”Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu’min adalah hak dan wajib diikuti.

b. Kehujjahan ijma’ sukuti

Ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.

Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau dzanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.

Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.[5]

B. KONTEKSTUALISASI  IJMA’

1. Ijma’ Pada Masa Klasik

Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar dan Umar dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan membutuhkan waktu yang  lama.[6]

Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.[7]

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang mereka lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati.[8]

2. Ijma’ Pada Masa Modern

Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi yudisial yang terbatas  sebagaimna dunia matematika yang tidak memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).

Seiring perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa, tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.[9]

Para cendekiawan Islam (ulama) banyak berbeda pendapat dalam menentukan terminologi konsensus (Ijma’). Perbedaan pendapat mereka, menurut Dr. Umar Sulaiman al-Asyqor, dilandaskan oleh dua hal: Pertama, Penentuan para personal yang mempunyai validitas untuk berkonsensus (dianggap konsensusnya). Kedua, Penentuan corak permasalahan-permasalahan yang dianggap dalam konsensus.[10] Terlepas dari perdebatan soal terminologisnya, ia disepakati (al-Muttafaq Alaih) sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits.

Dari posisinya yang ketiga tersebut, konsensus memiliki peran signifikan & kuat dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Apalagi ia diakui terbebas dari kekeliruan (Ma’shumun An il-Khothoi) dan kesesatan, berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW: “Umatku tidak berkonsensus dalam kesesatan” (HR. Ahmad & at-Thabarani).

Konsepsi konsensus dimulai sejak era sahabat (ash-Shahabah) setelah wafatnya Rasulullah saw. Hal itu terjadi dengan sistem syura ketika terdapat permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Sistem syura tersebut tak lain adalah mirip dengan sistem ijtihad kolektif yang diterapkan oleh forum-forum ijtihad kolektif kontemporer. Karena menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, jika ijtihad dilakukan dengan sistem kolektif maka ia adalah konsensus (Ijma’), namun jika dilakukan secara individual maka ia adalah silogisme (Qiyas).[11]

Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa sekarang. Padahal zaman sekarang ini permasalahan umat semakin kompleks dan membutuhkan jawaban instant dan cepat, jika ijma’ tidak dapat dilakukan maka penyelesaian permasalahan akan mengalami kemandegan. Sebagaimana yang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini, permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan metode ijtihad secara kolektif atau bermusyawarah sejumlah mujtahid, dan mungkin saja cara ini dapat menggantikan posisi ijma’. Ijma’ sangat kental dengan yang namanya ijtihad, dan jika memang ijma’ tidak mungkin dilakukan pada masa kini maka bukan berarti ijtihad juga tertutup, tetapi ijtihad akan lebih akurat jika dilakukan dengan sistem musyawarah dan bertukar pikiran diantara orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih dalam agama atau yang disebut ijtihad kolektif.

Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu (fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan.[12] Hanya saja ijtihad kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.[13]

C. IJTIHAD KOLEKTIF            SEBUAH TAWARAN BARU

1. Definisi Ijtihad Kolektif

Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Muslim dewasa ini, ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial tetapi hendaknya ijtihad dilakukan dengan komprehensif dengan melihatkan pakar dalam ilmu pengetahuan yang terkait. Menurut Yusuf Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan dalam menghadapi era globalisasi ini, yaitu pertama, ijtihad intiqa’i (tarjih)[14] dengan mengambil pendapat terkuat para ulama’ terdahulu kemudian mneyeleksi yang paling kuat dalilnya dan lebih relevan dengan keadaan sekarang. Kedua, ijtihad insya’i,[15] pengambilan kesimpulan baru dari persoalan dan belum pernah dikemukakan oleh ulama’ terdahulu. Sehubungan dengan ijtihad insya’i ini, agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan  maka perlu digalakkan ijtihad kolektif (jama’i), karena dengan permasalahan yang kompleks serta dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga dalam menghadapi persoalan harus melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Apabila ijtihad fardhi dilaksanakan dalam melaksanakan ijtihad insya’i terhadap suatu kasus yang baru kemungkinan ijtihad yang dilakukan akan terdapat kekeliruan dan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.[16]

Ijtihad kolektif (ijtihad al-jama’i), yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama, atau ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dan hasil-hasilnya mendapat pengakuan dan persetujuan mujtahid lain. Jadi, ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan hasil ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh para sahabat ketika memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada penetapannya, baik dari Alqur’an maupun sunnah, seperti dalam cerita dialog antara Nabi Muhammad saw dengan & Ali ibn Abi Thalib di atas.[17]

Menurut asy-Syarafi, ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum.[18] Tujuannya adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan.[19] Ijtihad kolektif merupakan aplikasi dari firman Allah yang berbunyi:

öNèdö‘Ír$x©ur ’Îû ͐öDF{$# ([20]

dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”[21]

öNèdãøBr&ur 3“u‘qä© ö[22]NæhuZ÷t/ [23]

“sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.”

Dengan demikian, jelaslah ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk musyawarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala permasalahan secara bersama-sama, terutama dalam mengahadapi kasus-kasus besar dalam dunia ekonomi, politik, dan kedokteran melalui pelibatan spesialis atau expert disiplin ilmu lain yang dibutuhkan dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga hasilnya akan lebih valid, kredibel, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Namun demikian, penggunaan ilmu bantu yang diperlukan itu harus ada batasan, yang memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi penggunaan ilmu dalam prosedur ijtihad itu, agar tidak menimbulkan dampak negatif yang kontraproduktif.

Menurut Dr. Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jama’îy). Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memiliki kapabilitas. Maka keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami,  bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syûrâ). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.

Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad  membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syâri’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syûra), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah  aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebut pun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.[24]

Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Guna menetapkan hukumnya, perlu didengar lebih dahulu pendapat ahli dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah. Darinya akan diperoleh informasi mengenai cara dan mekanisme pencangkokan organ tubuh itu. Setelah diketahui secara jelas, baru dibahas perihal pencangkokan itu dari berbagai disiplin ilmu agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulan hukumnya.[25] Contoh yang lain masalah KB yang berkaitan erat dengan kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu jiwa, ilmu yang berkaitan dengan IT dan tentunya ilmunya keagamaan.

2. Syarat-syarat Ijtihad Kolektif

Sebagaimana konsep ijtihad yang telah ada, begitu juga dengan ijtihad kolektif yang mana di dalamnya juga diatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi. Para mujtahid yang ada dalam ijtihad kolektif juga harus memenuhi persyaratan yang ada dalam mujtahid, seperti Islam, taklif, adil, memahami al-Qur’an dan sunah, memahami bahasa Arab, memahami ushul fiqh, memahami esensi tujuan syari’at, memahami masalah yang sudah jadi ijma’ dan memahami situasi masanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Wahab Kholaf bahwa ijtihad yang didasarkan pada pendapat satu kelompok tidak akan diterima, kecuali bila setiap anggota kelompok itu telah memenuhi syarat-syarat dan kapasitas profesionalisme ijtihad.

Namun ada hal-hal lain yang ada dalam ijtihad kolektif,  anggota lembaga ijtihad kolektif cukup seorang mujtahid juz’i,[26] buka seorang mujtahid mutlaq[27]. Mujtahid mutlaq adalah orang yang mampu melakukan ijtihad dalam seluruh bab fikih dan berbagai permasalahannya. Sedangkan mujtahid juz’i yaitu orang yang memiliki cukup ilmu yang membuatnya mampu untuk melakukan ijtihad dalam sebagian cabang ilmu saja namun tidak pada sebagian yang lain. Salah satu alasan mendesaknya kebutuhan terhadap ijtihad kolektif yang membolehkan hanya dengan mujtahid juz’i adalah karena ijtihad ini adalah karena ijtihad ini berposisi menggantikan peran mujtahid mutlak yang untuk masa sekarang sulit ditemukan. Dan ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam ijtihad kolektif bahwa dalam lembaga tersebut bahwa dalam kurung tersebut terdapat sejumlah anggota yang tidak disyaratkan harus memenuhi syarat-syarat ijtihad, tetapi mereka adalah para ahli dan pakar dalam bidangnya yang akan membantu para mujtahid merkeka hanya memberikan deskripsi, menjelaskan serta memberikan devinisi yang tegas bagi permasalahan yang di ijtihadi. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam memahami permasalahan secara cermat dan benar kemudian menyimpulkan hukum syar’i yang sesuai.[28]

3. Lembaga-lembaga Aplikasi Ijtihad Kolektif

Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektif tersebut termanifestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma’ al-buhuts al-Islamiyyah al-Azhar, Lembaga Fatwa Mesir (Dâr Iftâ’ Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan hukum tersebut.  Dr. Qutub Musthafa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad kolektif  yang ada pada zaman ini dan  masing-masing memiliki tugas-tugas tertentu.

Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan membahas permasalahan-permasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan masyarakat atau suatu komunitas. Maka  lembaga ini dituntut untuk benar-benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Ogan Komering Palembang Indonesia.

Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas problematika masyarakat dalam wilayah regional yang memiliki sifat, kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau  Dar Ifta’ Mishriy.

Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga fatwa milik OKI (Organisasi Konferensi Islam). Biasanya lembaga tersebut mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan umat yang terjadi di belahan dunia Islam.[29]

Indonesia, seperti yang telah kita ketahui, adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Muhammadiyah dan  Nahdhatul Ulama adalah dua organisasi Islam (sosial keagamaan) yang terbesar di Indonesia. Keduanya memiliki kemiripan dalam visi dan misinya yaitu untuk mengembalikan kejayaan umat Islam serta membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Banyaknya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, menuntut kedua organisasi tersebut untuk ikut andil dalam menyelesaikannya. Terkait dalam hal ini, kita tahu ada lembaga ijtihad yang ada pada tubuh kedua organisasi ini. Di Muhammadiyah kita mengenalnya dengan Majelis Tarjih dan Tajdid dan  dalam Nahdhatul Ulama  kita mengenal Bahsul Masa’il. Sedangkan lembaga ijtihad lain yang lebih independen dan di bawah naungan pemerintah (Departemen Agama Indonesia) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga-lembaga ijtihad ini memilki orientasi dan tugas yang sama, yaitu sama-sama membahas dan memecahkan problematika umat terutama dalam berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum-hukum Islam. Namun demikian, masing-masing memiliki manhaj pemikiran yang berbeda. Manhaj pemikiran yang dimaksud adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya. Di dalamnya memuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi sekaligus  operasionalisasinya. Maka tidak heran kalau terkadang terjadi perbedaan-perbedaan dalam memutuskan perkara-perkara tertentu, semacam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal Idul Fitri.  Walaupun demikian, ketiga lembaga ijtihad tersebut dan berbagai lembaga ijtihad lainnya yang berada di Indonesia, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam.[30]

Mengenai metodologi ijtihad kolektif, kita bisa melihat setiap hasil ijtihad yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ijtihad tersebut karena setiap lembaga memiliki metode yang berbeda-beda. Misalnya saja dalam menetapkan tanggal 1 Syawal, lembaga Tarjih milik Organisasi Muhammadiyah menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab dan hisab bisa berdiri sendiri dalam menentukan bulan Qamariyah. Sedangkan Bahtsul Masail menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li, dengan melihat hilal secara langsung dan bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari, hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Qamariyah.[31] Dan lembaga MUI yang berada di bawah naungan pemerintah menggunakan metode imkanur ru’yah yang tergabung dengan lembaga MABIMS.

iii. KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa sumber-sumber hukum syara’ (Mashodir Al-tasyri’ Al-muttafaq alaih) itu ada tiga yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’. Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh para mujtahid pada suatu masa yang mengistinbath hukum dengan cara berkumpul dan bermusyawarah untuk menjawab permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa ijma’ sharih tidak mungkin dilaksanakan karena tidak mungkin mengumpulkan semua mujtahid di seluruh belahan dunia yang hidup dalam suatu masa. Jika memang ijma yang setingkat sharih tidak bisa dilakukan dengan permasalahan yang semakin kompleks maka tidak mungkin para mujtahid diam saja tanpa melakukan sesuatu apapun.

Dan perlu ditekankan bahwa ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem dan permasalahan baru dalam masyarakat yang tidak ditemukan pada kitab-kitab klasik. Ijtihad yang dilakukan secara individu dirasa kurang mampu menjawab permasalahan yang semakin kompleks, maka dengan bergabungnya para mujtahid dalam suatu lembaga ijtihad kolektif akan dapat menyelesaikan persoalan dengan mendekati kebenaran. Pada dasarnya menurut penulis antara ijtihad kolektif dengan ijma’ tidak jauh berbeda, hal ini dapat dilihat metodologi dalam pengistimbatan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asyqor, Sulaiman Abdullah dan Umar. Nadzaratun Fi Ushul il-Fiqhi. Yordania: Daar an-Nafais.

Az-Zuhayli, Wahbah. Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1, Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr.

Asy-Syarafi, Abdul Majid. Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU, 2002. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Djamaluddin, T, Menggagas Fiqih Astronomi, Tela’ah Hisab Ru’yat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, 2005. Bandung: Kaki Langit.

Effendi, Satria dan M. Zein. Ushul Fiqh, 2005. Jakarta: Kencana.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh, 1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Tinjauan dari aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi, 2007. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Qardhawi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya),  2000. Surabaya: Risalah Gusti.

Hasan Bisri, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Telaah atas Ijtihad Fardi dan Jama’i, ditulis oleh Administrator, Friday, 31 October 2008.

Memenguje, Ijtihad Kontemporer dan Urgensinya dalam Hukum Islam, dalam internet website: http://www.memenguje.blogspot.com, diakses tanggal 26 Oktober 2009 pukul 10:23 WIB.

Muhammad Nurwahid, Fiqh Rasional Dan Liberal : Relevansinya Dengan Dinamika Perubahan Sosial. Dalam internet website: http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/144_Nurwahid%20Ok1.pdf . diakses pada 9 November 2009.

Syamsul Hadi, “Ijma’ sebagai Hukum ketiga dalam Islam”, dalam internet website: http://www.hadi_rukkiyah’s.com, diakses tanggal 23 oktober 2009 pukul 10:22 WIB.

Urgensi Ijtihad Dalam Menyelesaikan Problematika Fihq Kontemporer, Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari PP. Tebuireng.htm, diakses tanggal 04 November 2009.


[1]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 51-52.

[2]Ibid.,53.

[3]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 129.

[4]Nasrun Haroen,. Op Cit., 56-59.

[5]Syamsul Hadi, “Ijma’ sebagai Hukum Ketiga dalam Islam”, dalam internet website: http://www.hadi_rukkiyah’s.com diakses tanggal 23 Oktober 2009 pukul 10:22 WIB.

[6]Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002),  14-16.

[7]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), 127-128.

[8]Abdul Majid Asy-Syarafi,. Op. Cit., 18.

[9]Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 6.

[10]Sulaiman Abdullah Al-Asyqor dan Umar, Nadzaratun Fi Ushul il-Fiqhi (Yordania: Daar un-Nafais), 12.

[11]Wahbah Az-Zuhayli, Ushul ul-Fiqh il-Islami, jilid 1 (Damaskus-Suriah: Daar ul-Fikr), 486-487.

[12]Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya) (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 138-139.

[13]Ibid., 141.

[14]Dalam hal ini mujtahid muntaqi’ bertugas untuk mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi dari setiap pendapat itu, kemudian memberikan preferensinya terhadap pendapat yang dianggap kuat dan dapat diterima. Sebagai contoh adalah masalah yang berhubungan dengan thalaq. Menurut mayoritas ulama fiqh, termasuk mazhab yang empat, thalaq dinyatakan jatuh apabila diucapkan oleh suami kepada istrinya dalam keadaan sadar dan atas kehendak sendiri, tanpa bergantung kepada adanya saksi. Akan tetapi, menurut ahli fiqh dari kalangan Syi’ah, thalaq baru dianggap terjadi kalau disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Agaknya untuk masa sekarang pendapat Syi’ah itu dengan segala modifikasinya lebih dapat diterima. Di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, thalaq baru dianggap terjadi kalau dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.

[15]Dalam ijtihad ini diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Jadi, dalam menghadapi persoalan yang sama sekali baru diperlukan pengetahuan yang menjadi persyaratan ijtihad itu sendiri. Dalam ijtihad insya’i juga diperlukan pemahaman yang baik tentang metode penetapan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahat mursalat, dan saddu al-zari’at. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah, sebab pada dasarnya semua metode penetapan hukum Islam bermuara pada hal tersebut.

[16]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,Tinjauan dari aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), 173-175.

[17]Hasan Bisri, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Telaah atas Ijtihad Fardi dan Jama’i, ditulis oleh Administrator, Friday, 31 October 2008.

[18]Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), 12.

[19]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam …., 175.

[20]QS. Ali Imron: 159.

[21]Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

[23] QS. Asy-Syura: 38.

[24]Urgensi Ijtihad Dalam Menyelesaikan Problematika Fihq Kontemporer, Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari PP. Tebuireng.htm, diakses tanggal 04 November 2009. Dilihat juga pada website: http://www.memenguje.blogspot.com.

[25]Muhammad Nurwahid, Fiqh Rasional Dan Liberal : Relevansinya Dengan Dinamika Perubahan Sosial. Dalam internet website: http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/144_Nurwahid%20Ok1.pdf . diakses pada 9 November 2009.

[26]Juz’i artinya bersifat bagian. Mujtahid juz’i masih dibawah mujtahid mutlak karena mujtahid juz’i biasanya adalah seorang tokoh ulama yang mempunyai madhab tertentu.

[27]Mutlaq artinya bebas dan tidak terikat. Mujtahid mutlaq biasanya adalah seorang mujtahid yang independent dan tidak terikat dengan suatu madhab dam memiliki ilmu pengetahuan yang lengkap untuk beristimbath dan beristidlaln dengan al-Qur’an dan Sunah, dengan menggunakan kaidah mereka sendiri, untuk mengalirkan berbagai cabang pengetahuan fiqh tanpa mengikuti orang lain dalam berijtihad.

[28] Abdul Majid Asy-Syarafi, Ijtihad Kolektif terjemah Syamsuddin TU (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002),  44-46.

[29] Memenguje, Ijtihad Kontemporer dan Urgensinya dalam Hukum Islam, dalam internet website: http://www.memenguje.blogspot.com, diakses tanggal 26 Oktober 2009 pukul 10:23 WIB.

[30]Urgensi Ijtihad Dalam Menyelesaikan Problematika Fihq Kontemporer, Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari PP. Tebuireng.htm, diakses tanggal 04 November 2009.

[31]T. Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi, Tela’ah Hisab Ru’yat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya (Bandung: Kaki Langit, 2005), 58-60.





SUDUT WAKTU DAN WAKTU ISTIWA’

28 11 2010

I. PENDAHULUAN

Penentuan awal waktu shalat merupakan bagian dari ilmu falak yang perhitungannya ditetapkan berdasarkan garis edar matahari atau penelitian posisi terhadap matahari. Sudah jelas dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan bahwa shalat yang diwajibkan maupun yang disunahkan bagi kaum muslimin mempunyai waktu-waktu tersendiri yang sudah ditetapkan.

Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu” ( Q.S. An-Nisa’ :103 )

“Dirikanlah shalat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah shalat subuh sesungguhnya shalat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”. ( Q.S. Al-Isra’ : 78 )

Dengan berkembangnya peradaban manusia yang didukung dengan perkembangan IPTEK, berbagai kemudahan-kemudahan diciptakan untuk membuat manusia lebih praktis dalam segala hal termasuk dalam beribadah khususnya shalat fardhu. Saat ini kita mengetahui banyak sekali diterbitkan jadwal waktu shalat dari berbagai instansi maupun organisasi antara lain; Departemen Agama, PP Muhammadiyah, PP Persis, PP Nahdatul Ulama (NU) dsb. Namun kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari kaidah yang sebenarnya digunakan untuk menentukan waktu shalat yaitu “Pergerakan Matahari ” dilihat dari bumi.

Pada zaman Rasulullah waktu shalat ditentukan berdasarkan observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung matahari. Lalu berkembang dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari serta Jam Istiwa atau seing disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan matahari.

Dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang lingkaran waktu yang akhirnya menghasilkan sudut waktu ketika diapit dengan lingkaran meridian. Selain itu juga membahas tentang waktu istiwa’ atau waktu hakiki dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.

II. PEMBAHASAN

A. LINGKARAN WAKTU

Perjalanan matahari menurut arah dari timur ke barat yang menyebabkan pergantian siang dan malam bukanlah perjalanan yang hakiki, namun hal tersebut disebabkan adanya rotasi bumi yang dari arah barat ke timur selama 24 jam untuk sehari semalam. Hal tersebut mengakibatkan semua benda langit yang berada di sekitar bumi tampak berjalan dari timur ke barat tegak lurus dengan poros bumi.[1]

Dari Kutub Langit Utara ke Kutub Langit Selatan dapat dibuat lingkaran-lingkaran yang jumlahnya tidak terbatas, yang semuanya tegak lurus pada lingkaran equator. Lingkaran-lingkaran ini disebut lingkaran waktu. Jadi yang dimaksud lingkaran waktu adalah lingkaran besar yang ditarik dari Kutub Langit Utara ke Kutub langit Selatan tegak lurus dengan lingkaran khatulistiwa langit.[2] Diantara sekian banyak lingkaran waktu, ada satu lingkaran yang istimewa yaitu terdapat di dalamnya garis vertikal (lingkaran yang melewati titik Z dan N), garis khatulistiwa (titik E dan Q) dan garis horizon (titik U dan S, yaitu lingkaran meridian..[3]

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Dr. Susiknan Azhari dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, bahwa yang dimaksud lingkaran waktu adalah lingkaran pada bola langit yang menghubungkan kedua titik kutub. Dimana lingkaran yang menghubungkan dua kutub ini berpusat pada bola langit.[4]

Perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar I:

 

Keterangan:

EQ = Equator

Ku = Kutub utara

Ks = Kutub selatan

Lingkaran yang menghubungkan KU-Ks = Lingkaran waktu[5]

Semua lingkaran waktu yang terlihat dalam gambar I tersebut membentuk sudut 90 terhadap lingkaran Khatulistiwa.[6]

 

B. SUDUT WAKTU

Sudut waktu adalah setiap lingkaran waktu yang membuat sudut dengan lingkaran merindian. Semua benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama, berlaku hukum bahwa jarak waktu yang memisahkan mereka dari kedudukan mereka sewaktu berkulminasi adalah sama. Sudut waktu berharga positif (+) jika benda langit bersangkutan berkedudukan di belahan langit sebelah barat dan berlaku sebaliknya, jika benda langit sedang berkulminasi sudut waktu = 0°, seterusnya besar sudut waktu diukur dengan derajat sudut dari 0° sampai 180°.[7]

Dalam pengertian yang sederhana setiap lingkaran waktu membuat sudut dengan lingkaran meridian. Sudut yang diapit oleh lingkaran meridian dengan lingkaran waktu disebut sudut waktu (Arab: السوائية زوية, Inggris: Hour Circle atau Hour Angle), yang biasanya diberi tanda t.

Sudut tersebut dinamakan sudut waktu, karena setiap benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama berlaku kaidah: bahwa jarak waktu yang memisahkan benda-benda langit dari kedudukannya sewaktu berkulminasi adalah sama.[8] Maksudnya adalah bahwa benda-benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama, berkulminasi pada waktu yang sama pula. Besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi.[9]

Perhatikan gambar berikut:

Gambar II:

 

 

Keterangan:

EQ = Equator

Z = Zenith

N = Nadir

U = Utara

S = Selatan

Ku = Kutub Utara

Ks = Kutub selatan

Dari gambar di atas tampak dapat kita lihat, bahwa sudut ZKuKs adalah sudut yang dibentuk oleh lingkaran waktu dan lingkaran meridian, sudut tersebut adalah sudut waktu.

Besarnya sudut waktu itu menunjukkan tentang berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit yang bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Pada saat benda langit berada di titik kulminasi atas, maka waktu benda langit adalah 0°.

Apabila benda langit sedang berkedudukan di belahan langit bagian barat, maka sudut waktunya diberi tanda positif, begitu sebaliknya jika berkedudukan di belahan langit timur maka sudut waktunya diberi tanda negatif.

Besar sudut waktu berkisar antara 0° sampai 180°, untuk setiap jam rata-rata sudut waktu berubah 15°. Hal ini disebabkan karena perputaran benda-benda angkasa yang disebabkan perputaran bumi pada porosnya, rata-rata untuk satu kali putaran memerlukan waktu sekitar 24 jam.[10] Dengan demikian dapatlah jumlah derajat sudut waktu dipindahkan menjadi jumlah jam,menit dan detik, karena:

360°     = 24 jam                      15’       = 1 menit

15°       = 1 jam                        1’         = 4 detik[11]

1°         = 4 menit

Nilai sudut waktu selain menggunakan 0º-180º, ada juga yang menggunakan 0º -360º dengan nilai di atas 180º bernilai negatif, yang kedua ini bisa dijumpai dalam Almanac Nautica, namun keduanya sama saja.

Menurut Susiknan besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit yang bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi.[12]

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa nilai sudut waktu adalah antara 0° sampai 180º, nilai sudut waktu 0° ketika matahari berada di titik kulminasi atau tepat di meridian langit, sedangkan nilai sudut waktu 180º ketika matahari berada di titik kulminasi bawah. Nilai sudut waktu matahari ini dapat dihitung dengan rumus:

 

 

 

Keterangan:

t = sudut waktu                       f = lintang tempat

d = deklinasi matahari             h = tinggi matahari[13]

Sudut waktu dipengaruhi oleh bujur, namun dalam rumus tetap melibatkan lintang karena untuk menghitung tinggi matahari membutuhkan lintang. Setiap lintang yang berbeda maka tinggi matahari pun berbeda, selain itu ketika terjadi pergeseran KLU-KLS maka tinggi matahari juga berubah. Sudut waktu dapat dihitung mulai dari meridian sampai pada sudut yang terdekat dengan titik zenith.[14]

Contoh:[15]

Mencari sudut waktu untuk kota Bandung pada tanggal 1 Januari 2005, yang nantinya untuk menghitung awal waktu shalat Ashar sebagai berikut:

ϕ       : -6º 57′ LS

h        : 37º 50′

d : -22º 59′ 05″

 

 

 

 

 

 

Cos t  = 51º 43′ 16.21″ / 15

 

 

= 3 jam 26 menit 53.08 detik

Untuk mengkonversi nilai sudut waktu (t) menjadi satuan waktu dengan cara t  : 15, selanjutanya hasil dari nilai sudut waktu matahari berguna untuk menghitung awal waktu shalat.[16]

C. WAKTU ISTIWA’ ATAU HAKIKI

Sebagaimana dalam pembahasan gerak bumi bahwa gerak rotasi bumi untuk sekali putaran membutuhkan waktu rata-rata 24 jam, dengan kata lain dalam sehari semalam membutuhkan waktu 24 jam. Dikatakan rata-rata, karena waktu yang digunakan untuk mengukur itu dasarnya adalah perjalanan harian matahari, sedangkan perjalanan matahari tidak tetap. Maksudnya, untuk sehari-hari terkadang membutuhkan waktu lebih dari 24 jam dan terkadang kurang dari 24 jam.

Dalam istilah lain waktu istiwa’ atau hakiki juga disebut dengan waktu surya. Istiwa adalah fenomena astronomis saat posisi matahari melintasi meridian langit. Dalam penentuan waktu shalat, istiwa digunakan sebagai pertanda masuknya waktu shalat Dhuhur.  Pada saat tertentu di sebuah daerah dapat terjadi peristiwa yang disebut Istiwa Utama atau ‘Istiwa A’dzam yaitu saat posisi matahari berada tepat di titik Zenith (tepat di atas kepala) suatu lokasi dimana peristiwa ini hanya terjadi di daerah antara 23,5˚ Lintang Utara dan 23,5˚ Lintang Selatan.

Istiwa Utama yang terjadi di kota Makkah dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin di negara-negara sekitar Arab khususnya yang berbeda waktu tidak lebih dari 5 (lima) jam untuk menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan matahari. Istiwa A’dzam di Makkah terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Makkah dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 Waktu Makkah pada tahun-tahun biasa. Sedangkan untuk tahun-tahun Kabisat tanggal ini dapat maju 1 hari (27 Mei dan 15 Juli) seperti yang terjadi pada tahun 2008 ini.[17] Namun hal ini juga masih ada perbedaan pendapat, karena ada kalanya sebelum tanggal tersebut dan ada kalanya sesudahnya. Lebih lanjut dan lebih jelasnya tentang pembahasan istiwa’ a’dzam ini akan dibahas dalam makalah lain.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa waktu istiwa juga ada hubungannya dengan waktu shalat dhuhur, maka di sini juga akan dibahas sedikit tentang waktu shalat dhuhur. Waktu dhuhur disebut juga waktu zawaal terjadi ketika matahari sedikit tergelincir setelah berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan

Tengah Hari (midday/noon). Pada saat Istiwa, mengerjakan ibadah shalat (baik wajib maupun sunnah) adalah haram kecuali ada sebab-sebab tertentu. Waktu dhuhur tiba sesaat setelah Istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke arah Barat. Waktu tengah hari dapat dilihat pada almanak astronomi atau dihitung dengan menggunakan algoritma tertentu. Secara astronomis, waktu dhuhur dimulai ketika tepi piringan matahari telah keluar dari garis zenith, yakni garis yang menghubungkan antara pengamat dengan pusat letak matahari ketika berada di titik tertinggi (Istiwa). Secara teoretis, antara Istiwa dengan masuknya Dhuhur ( z° ) membutuhkan waktu 2 menit, dan untuk faktor keamanan biasanya pada jadwal shalat waktu Dhuhur adalah 4 menit setelah Istiwa terjadi atau z =1°.[18]

Perhatikan gambar III di bawah ini:[19]

 

Pada gambar tersebut tergambar dengan jelas bahwa waktu istiwa’ itu tepat ketika matahari berkulminasi, sedang waktu dhuhur terjadi beberapa menit setelah matahari tergelincir.

Kembali pada pembahasan awal, bahwa untuk mengetahui tentang lebih atau kurangnya perjalanan matahari sehari semalam dari jumlah 24 jam, diukur dengan perjalanan ”matahari khayalan” yang benar-benar sehari semalam menempuh jarak waktu 24 jam.

Apabila perjalanan matahari yang sebenarnya dibandingkan dengan perjalanan matahari khayalan, maka akan terdapat selisih waktu antara keduanya. Dan karena perjalanan matahari yang sebenarnya tidak tetap waktunya, maka selisih waktu antara matahari yang sebenarnya dengan matahari khayalan juga tidak sama besarnya.

Waktu yang berdasarkan perjalanan matahari yang sebenarnya disebut waktu surya atau waktu surya hakiki setempat (apparent solar time), atau waktu hakiki setempat. Sedangkan waktu yang didasarkan pada perjalanan matahari khayalan dinamakan waktu pertengahan atau waktu matahari pertengahan (mean solar time), atau waktu umum (civil time). Dinamakan waktu umum karena waktu inilah yang dipakai umum, misalnya RRI, TVRI dan arloji kita.

Adapun selisih waktu antar waktu hakiki dengan waktu pertengahan dinamakan perata waktu (eqution of time), biasanya diberi lambang huruf e kecil. Dengan demikian, maka perata waktu merupakan selisih antar sudut waktu matahari hakiki dengan matahari pertengahan.

Dengan uraian di atas, maka dapat dirumuskan:[20]

 

 

 

Atau:

 

 

Perata waktu atau equation of time yang merupakan selisih antara waktu kulminasi dengan matahari rata-rata ini diperlukan untuk menghisab awal waktu shalat.[21] Equation of time ini berfungsi untuk mengetahui kecepatan gerak matahari, ketika kecepatan matahari cepat maka bernilai plus (+) dan sebaliknya ketika lambat bernilai minus (-). Untuk lebih detail dan rinci, pembahasan mengenai perata waktu atau yang lebih dikenal dengan equation of time (e) dan waktu pertengahan akan dibahas pada makalah selanjutnya.

Contoh[22]: mencari waktu pertengahan untuk kota Bandung pada tanggal 1 Januari 2005 dengan diketahui:

e = -3 menit 31 detik

Waktu pertengahan = 12 – (- 3 menit 31 detik)

= 12 jam 3 menit 31 detik

Rumus di atas merupakan rumus untuk mencari waktu pertengahan waktu yang biasa kita gunakan sehari-hari. Sedangkan waktu hakiki bisa dicari dengan rumus di bawah ini:

Dengan ketentuan bahwa nilai t pada pukul 12.00 bernilai 0 karena berhimpit dengan meridian.

Contoh:

1.      t = 74º 50’

WH = 12 + 74º 50’

=  12 + 4 jam 59 menit 20 detik

=  16.59.20

 

2. t = -165º 10’

WH = 12 + (-165º 10’)

= 12 – 11 jam 0 menit 40 detik

= 00.59.20

III. KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa peredaran matahari ternyata sangat menentukan salah satu proses peribadahan seperti shalat baik yang diwajibkan maupun yang disunahkan bagi kaum muslimin. Meskipun ada sebagian orang yang menganggap sepele akan hal ini, tetapi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, menetapkan waktu shalat hanya dengan keyakinan saja sudah tidak relevan lagi.

Terkait dengan sudut waktu yang merupakan sudut hasil perpaduan antara lingkaran waktu dan lingkaran meridian ini juga termasuk salah satu komponen dalam perhitungan awal waktu shalat. Karena dengan sudut waktu dapat ditentukan perbedaan waktu dari kedudukan benda tersebut ketika berkulminasi. Selain sudut waktu, waktu istiwa’ atau dikenal dengan istilah waktu hakiki juga termasuk hal penting, karena dengan mengetahui waktu istiwa’ maka kita dapat mengetahui waktu-waktu dilarangnya shalat tanpa sebab-sebab tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan  (2008) Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hambali, Slamet (1988) Buku Praktis Ilmu Falak tentang Penentuan Awal Waktu Shalat Penentuan Arah Qiblat di Seluruh Dunia. Semarang.

Ismail, M. Syuhudi (1984) Waktu Shalat dan Arah Kiblat Dasar-dasar dan Cara Menghitung Menurut Ilmu Ukur Segitiga Bola. Ujung Pandang: Taman Ilmu.

Jamil, A (2009) Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi Arah Kiblat, Awal Waktu Shalatdan Tahun (Hisab Kontemporer). Jakarta: AMZAH.

Khazin, Muhyiddin (2004) Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.

Rachim, Abd. (1983) Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty.

Supriatna, Encup (2007) Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung: Refika Aditama.

http://nourly-samitha.blogspot.com/2010/02/resume-ilmu-falak.html

http://mutoha.blogspot.com/2008/05/rashdul-qiblat-2008.html

http://www.rukyatulhilal.org/waktu-shalat/index.html


[1] Slamet Hambali, Buku Praktis Ilmu Falak tentang Penentuan Awal Waktu Shalat Penentuan Arah Qiblat di Seluruh Dunia (Semarang, 1988), 15.

[2] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat Dasar-dasar dan Cara Menghitung Menurut Ilmu Ukur Segitiga Bola (Ujung Pandang: Taman Ilmu, 1984), 28-29.

[3] Ibid., 15.

[4] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),133.

[5] A. Jamil, Ilmu Falak(Teori dan Aplikasi Arah Kiblat, Awal Waktu Shalatdan Tahun (Hisab Kontemporer) (Jakarta: AMZAH, 2009), 14.

[6] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat……………….,28-29.

[8] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………..,29.

[9] Abd. Rachim, Ilmu Falak (Yogyakarta: Liberty, 1983), 7.

 

[10] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………………,29-30.

[11] Abd. Rachim, Ilmu Falak………………….,7.

[12] Susiknan Azhari, Ensiklopedi…………………………., 195.

[13] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), 81.

[14] Disampaikan oleh KH. Slamet Hambali pada mata kuliah Astronomi Bola pada tanggal 19 April 2010.

[15] Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya (Bandung: Refika Aditama, 2007), 39.

[16] Ibid., 94.

[20] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………..,63-65.

[21] Encup Supriatna, Hisab Rukyat……………….., xii.

[22] Ibid., 33.





Al-Battani

28 11 2010

Pendahuluan

Kemajuan pearadaban Islam beserta perkembangan pesat ilmu pengetahuan yang melekat padanya, khususnya dalam bidang astronomi telah diakui oleh dunia setelah peradaban Yunani. Selama kurang lebih 14 abad, Islam memimpin peradaban dunia dan memecah rekor sebagai pearadaban yang paling lama memiliki kejayaan. Khilafah Islam dengan sistem pemerintahannya telah terbukti menjadi negara terdepan pada masa kejayaannya. Tidak hanya bermanfaat bagi Islam sendiri tetapi juga mampu menerangi kehidupan bangsa lain yang masih gelap dengan ilmu pengetahuan khususnya benua Eropa.

Islam telah melahirkan banyak sekali pakar-pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan khususnya dalam hal astronomi. Sebut saja salah satunya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sin’an al-Battanial-Harrani, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Battani. Al-Battani merupakan salah satu astronom terhebat dalam sejarah pearadaban Islam. Hal ini terbukti dari karya-karya yang dihasilkannya, yang menjadi landasan ilmu astronomi masa kini. Penemuan yang dilakukan oleh al-Battani sangat dekat keakuratannya, sebagaimana beliau membagi kalender matahari menjadi 365 hari 5 jam 46 menit 24 detik. Penemuan inilah yang paling berkesan bagi masyarakat khususnya para ilmuwan dan astronom.

Salah satu hasil karyanya yang terbukukan adalah kitab yang Zij ash-Shabi’ atau Zij al-Battani. Kitab Zij inilah yang pertama kali membahas tentang azimuth, titik nadhir, titik terdekat dan terjauh matahari dari bumi, ilmu trigonometri bola dan masih banyak lagi khususnya yang berkaitan dengan ilmu astronomi.

Dalam makalah ini akan mengupas sedikit isi dari keseluruhan isi kitab Zij al-Battani. Pembahasan  dalam makalah ini berkaitan dengan penentuan deklinasi yang ada dalam kitab Zij al-Battani. Semoga bermanfaat.

 

Biografi al-Battani

Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sin’an al-Battani al-Harrani, di barat dikenal sebagai al-Bategnius. Ia seorang ahli astronomi dan ilmu hisab, al-Battani memiliki posisi penting sebagai ahli astronomi terunggul pada zamannya dan juga pada zaman pertengahan. Al-Battani lahir di Harran sekitar tahun 858M, nama daerah yang oleh orang-orang Roma disebut juga Carrhae yang sekarang masuk  wilayah Turki. Harran berada di atas sungai Balikh, 38 km di sebelah tenggara Urfa.

Mengenai kelahiran  al-Battani tidak diketahui secara pasti karena banyak pendapat, namun sebagian besar sumber mengatakan bahw aal-Battani lahir sekitar tahun 858 M.[1] Al-Battani awalnya hidup di kalangan komunitas Sekte Sabian, suatu sekte pemuja bintang yang religious dari Harran. Orang-orang Sabian mempunyai motivasi yang kuat untuk mempelajari ilmu perbintangan. Mereka banyak menghasilkan para ahli matematika dan ahli falak terkemuka seperti Thabit ibn Qurra. Namun al-Battani bukan seorang Sabian, dari nama yang melekat pada dirinya menunjukkan bahwa ia seorang muslim.

Ditilik dari latar belakang keluarganya, al-Battani memiliki keturunan darah ilmuwan. Ayahandanya yang bernama Jabir ibn Sin’an juga seorang pakar sains terkenal. Sang ayah telah mengarahkan al-Battani untuk menekuni dunia pengetahuan sejak kecil. Menginjak remaja ia berhijrah ke Raqqa yang terletak di pinggir Euprates, untuk menekuni bidang sains. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan Harran menuju Raqqa yang terletak di tepi Sungai Eufrat, di sana ia melanjutkan pendidikannya. Di kota inilah ia melakukan beragam penelitian hingga ia menemukan berbagai penemuan cemerlangnya. Pada saat itu, Raqqa menjadi terkenal dan mencapai kemakmuran.

Ini disebabkan karena khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima dalam dinasti Abbasiyah, pada 14 September 786 membangun sejumlah istana di kota tersebut. Ini merupakan penghargaan atas sejumlah penemuan yang dihasilkan oleh penelitian yang dilakukan al-Battani. Usai pembangunan sejumlah istana di Raqqa, kota ini menjadi pusat kegiatan baik ilmu pengetahuan maupun perniagaan yang ramai.[2]

Pada penghujung abad ke-9, al-Battani hijrah ke Samara, dan bekerja disana hingga ia meninggal dunia pada 929M. Al-Battani meninggal dunia dalam perjalanan dari Raqqa ke Baghdad. Perjalanan ini dilakukan sebagai bentuk protes kerana beliau dikenakan pajak yang berlebih. Al-Battani memang mencapai Baghdad untuk menyampaikan keluhannya kepada pihak pemerintah. Namun, beliau menghembuskan nafas akhirnya ketika dalam perjalanan pulang dari Baghdad ke Raqqa.

Sejak tahun 877 sampai 929M, al-Battani telah membuat banyak kajian dan pelajaran dalam bidang astronomi sampai berhasil menemukan berbagai karya ilmiah.[3]

 

Sekilas tentang Kitab Zij al-Battani

Al-Battani berpendapat bahwa ilmu falak merupakan ilmu penting, sebagaimana al-Battani telah melakukan berbagai pengamatan seperti penetapan beliau tentang pergerakan bintang-bintang pada masanya. Al-Battani juga telah menentukan nilai deklinasi bintang-bintang dan membuat pembenaran tentang panjang musim.

Buku al-Battani tentang astronomi yang paling terkenal adalah Kitab al-Zij.[4] Menurut Doktor Abdul Halim bahwa kitab Zij ash-Shabi’ merupakan hasil karya teragung dari al-Battani yang berisi tentang hasil-hasil perhitungan dan tabel-tabel falak, gerakan bintang pada orbitnya, serta dapat juga untuk menghitung bulan, hari dan tanggal. Dalam Zij ash-Shabi’ ini juga dapat diketahui tentang titik terjauh bintang (الأوج)[5] dan titik terdekat (الحضيض)[6] dari bumi. Berdasarkan hasil pengamatan al-Battani bahwa titik terjauh antara bumi dan matahari bertambah 16º 47′.[7]

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dengan judul De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibus oleh Plato dari Tivoli. Terjemahan tertua dari karyanya itu masih ada di Vatikan. Terjemahan buku tersebut tidak hanya dalam bahasa latin tetapi juga bahasa lainnya.

Terjemahan ini keluar pada 1116 sedangkan edisi cetaknya beredar pada 1537 dan pada 1645. Sementara terjemahan karya tersebut ke dalam bahasa Spanyol muncul pada abad ke-13. Pada masa selanjutnya baik terjemahan karya Al Battani dalam bahasa Latin maupun Spanyol tetap bertahan dan digunakan secara luas.Tidak heran bila tulisannya, sangat memberikan pengaruh bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa hingga datangnya masa pencerahan. Dalam Fihrist, yang dikompilasi Ibn an-Nadim pada 988, karya ini merupakan kumpulan Muslim berpengaruh pada abad ke-10, dinyatakan bahwa al-Battani merupakan ahli astronomi yang memberikan gambaran akurat mengenai bulan dan matahari.[8]

Kitab Zij ash-Shabi’ sejauh ini yang paling penting karyanya. Buku ini berisi 57 bab, dimulai dengan deskripsi pembagian bola langit ke dalam tanda-tanda zodiak dan ke derajat. Latar belakang yang diperlukan alat-alat matematika ini kemudian diperkenalkan (seperti operasi hitung pada pecahan sexagesimal dan fungsi trigonometri). Bab 49 melalui 55 masalah astrologi, sedangkan bab 56 membahas pembangunan sebuah jam matahari. Bab terakhir membahas pembangunan sejumlah instrumen astronomi.

Pencapaian utama dari Zij ash-Shabi’, beliau berhasil dengan  489 katalog  bintang. Al-Battani menyempurnakan nilai-nilai yang ada untuk panjang tahun yaitu 365 hari 5 jam 48 menit 24 detik, dan dari musim.

Sedikit memaparkan muqaddimah dari kitab ini, bahwa pada awal kitab ini disebutkan tentang pembagian musim yang ada di bumi ada empat yaitu, musim gugur, musim semi, musim panas dan musim dingin. Pembagian rasi bintang ada 12 yaitu rasi Haml, rasi Tsaur, rasi Jauza’, rasi Sarathan, rasi Asad, rasi Sunbulah, rasi Mizan, rasi ‘Aqrab, rasi Qaus, rasi Jadyu, rasi Dalwu dan rasi Hut, dimana setiap rasi bernilai 30º. Setiap 1º bernilai 60 menit, setiap satu menit bernilai 60 detik.

Dalam kitab ini menggunakan istilah-istilah seperti derajat, daqiqah, tsawani, tsawalis, rawabi’ dan seterusnya. Pada awal kitab ini juga diperkenalkan tentang perkalian yaitu mengalikan anatara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Jika dalam perkalian busur, maka ketika derajat dikali derajat hasilnya derajat, daqiqah dikalikan dengan daqiqah hasilnya tsawani, daqiqah dikalikan dengan tsawani hasilnya tsawalis, tsawani dikalikan tsawani hasilnya rawabi’, tsawani dikalikan tsawalis hasilnya khowamis begitu seterusnya.

 

 

Pembahasan

Deklinasi Matahari

Sebelum masuk pada pembahasan deklinasi yang terdapat dalam kitab Zij ash-Shabi’, penulis akan membahas sedikit tentang hal-hal yang berkaitan dengan deklinasi. Deklinasi merupakan jarak suatu benda langit dari equator yang dihitung sepanjang lingkaran waktu. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan sedikit yang berkaitan dengan deklinasi matahari.

Adanya pergantiam musim sepanjang tahun disebabkan oleh gerak semu matahari. Gerak semu ini adalah peredaran matahari jika dilihat dari bumi sepanjang tahun. Pada tanggal 21 Juni, matahari akan terbit di koordinat 23,5 derajat, atau sejauh 23,5 derajat arah utara dari khatulistiwa. Sebaliknya di bulan Desember tanggal 22, matahari terbit di -23,5 derajat, atau sejauh 23,5 derajat arah selatan khatulistiwa. Bumi bergerak mengelilingi matahari (revolusi), dan juga berotasi terhadap sumbu bola bumi. Namun sumbu rotasi bumi itu tidak tegak lurus terhadap sumbu revolusi. Karena kemiringan itu, wilayah yang diterangi matahari sepanjang tahun berbeda-beda. Selama setengah tahun, matahari lebih banyak menerangi wilayah utara ketimbang wilayah selatan, dan setengah tahun berikutnya hal sebaliknya yang terjadi. Jika fenomena ini diamati sepanjang tahun dari bumi, maka terlihat seolah-olah matahari itu bergerak dari utara ke selatan selama setengah tahun, dan kemudian balik lagi bergerak dari selatan ke utara pada setengah tahun berikutnya. Dalam bola langit, lintasan gerak semu matahari itu disebut ekliptika.[9]

Lintasan semu matahari itu menggambarkan adanya perubahan deklinasi matahari secara periodik. Deklinasi adalah jarak antara sebuah benda langit dengan “khatulistiwa langit”. Khatulistiwa langit ini sendiri merupakan proyeksi khatulistiwa bumi terhadap bola langit – kalau diambil asumsi bahwa langit berbentuk bola.

Apabila matahari berada di sebelah utara  equator maka deklinasi bernilai positif (+) dan sebaliknya jika berada di sebelah selatan maka bernilai negatif (-). [10]

Pada tanggal 21 Maret sampai tanggal 23 September deklinasi matahari positif, sedangkan dari tanggal 23 September sampai 21 Maret negative. Pada tanggal 21 Maret dan 23 September matahari berkedudukan di equator dengan deklinasi 0º.  Sesudah tanggal 21 Maret matahari berangsur-angsur bergerak ke utara menjauhi equator, hingga pada tanggal 21 Juni matahari mencapai kedudukannya yang paling jauh dengan equator yaitu 23º 27′ utara. Setelah itu bergerak kembali ke selatan , hingga pad atanggal 23 September berada di equator, dan tanggal 22 Desember berada pada posisi yang paling jauh dari equator yaitu -23º 27′ selatan. Dari pergerakan kedudukan matahari selama setahun, deklinasi matahari selalu berubah tidak hanya dari hari ke hari tapi tiap jam selalu berubah.[11]

 

Deklinasi dalam Kitab Zij ash-Shabi’

Mengetahui Deklinasi Bintang

Dalam bab ini dibahas tentang deklinasi baik dari ketika deklinasi naik maupun turunnya. Sebagaimana dituturkan oleh Ptolomius dalam bukunya al-Magesty bahwa nilai atau ukuran qaus antara musim panas dan musim dingin di busur siang adalah 47º 42′, sedangkan deklinasinya yaitu separoh dari nilai tersebut yaitu 23º 51′. Sedangkan menurut kitab Zij ash-Shabi’ ini, nilai antara dua musim adalah 47º 10′, dan deklinasinya bernilai separuhnya yaitu 23º 35′.

Untuk mengetahui deklinasi, maka ketahui hishahnya sampai sempurna 90º yang disempurrnakan yaitu (كج له) 23º 35′ kemudian ambil witrunya satu derajat, dua derajat atau lebih sampai 90º dari awal rasi Haml sampai akhir rasi Jauza’. Jika sudah diketahui witru durji maka kalikan dengan witru al-mail, kemudian hasilnya dibagi dengan nisfu al-qutri yaitu 60º kemudian hasilnya diqauskan, nilai Qaus tersebut adalah nilai deklinasinya dari falaki mua’ddal an-nahar[12] pada falaki nisfu an-nahar. Jika akan memasukkan data deklinasi pada tabel, maka harus mengetahui deklinasi masing-masing bintang.

–       Deklinasi dengan nilai  90º – 180º, maka seperti kebalikan deklinasi 90º

–       Deklinasi dengan nilai 180º – 270º, maka sama dengan deklinasi 90º

–       Deklinasi dengan nilai 270º – 360º, maka seperti kebalikan deklinasi 90º

Perhitungan ini telah tertulis dalam jadwal dengan dibuat berupa empat kolom, kolom pertama yaitu dengan nilai sampai 90º, kolom kedua merupakan nilai 180º dikurangi dari nilai kolom pertama, kolom ketiga merupakan nilai 270º dikurangi pada kolom pertama dan kolom terakhir yaitu nilai 360 dikurangi nilai pada kolom pertama. Jika terletak pada kolom pertama dan kedua maka deklinasi pada sisi utara dari equator, dan jika terletak pada kolom ketiga dan keempat maka deklinasi pada posisi selatan dari equator.

Untuk mengetahui deklinasi matahari atau yang lainnya maka ambil nilai dari awal rasi haml sampai pada bujur ekliptik matahari atau yang lainnya yang akan dicari deklinasinya, maka itu adalah hishatul mail. Ambil nilai yang serupa pada baris keempat yang tertulis di tabel deklinasi, ambil nilai derajat, menit, dan detiknya maka itu adalah nilai deklinasinya.

Langkah-langkah:

§  Ambil nilai dari awal rasi Haml sampai bujur ekliptik matahari

§  Maka nilai itu adalah hishatul mail

§  Cari nilai tersebut di tabel deklinasi, cari derajat, menit dan detiknya maka itu adalah deklinasinya.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kedudukan deklinasi sebagai berikut:

–       jika antara (ه) 5 sampai (ص) 90 maka deklinasi bertambah dan matahari naik ke utara

–       jika antara (ص) 90 sampai (قف) 180 maka deklinasi berkurang dan matahari turun dari utara

–       jika antara (قف) 180 sampai (رع) 270 maka deklinasi bertambah dan matahari turun ke selatan

–       jika antara (رع) 270 sampai (شس) 360 maka deklinasi berkurang dan matahari naik ke selatan

Dengan ketetapan di atas ini, maka jika hisotul mail antara  (ه) 5 – (قف) 180 maka deklinasi utara, jika antara (قف) 180 – (شس) 360 maka deklinasi selatan. Dengan perhitungan ini maka dapat diketahui deklinasi matahari baik naik atau turunnya.

Deklinasi telah dibagi menjadi enam tingkatan, setiap 15º dari perjalanan matahari maka disebut satu tingkatan baik naik maupun turunnya sampai sempurna 90º pada tingkatan keenam. Pada 15º pertama maka disebut tingkatan pertama, 15º kedua disebut tingkatan kedua dan begitu seterusnya sampai pada tingkatan keenam.

Mengetahui Terbitnya Bintang di Khatulistiwa

Dalam kitab Zij ini disebutkan istilah al-falak al-mustaqim yaitu daerah khatulistiwa, daerah yang tidak ada lintangnya atau lintang 0º, daerah dimana busur siang dan malam sepanjang waktu adalah sama.[13]

Untuk mengetahui nilai derajat suatu bintang yang terbit di daerah khatulistiwa, maka ambil nilai deklinasi keseluruhan yaitu  (كج له ) 23º 35′, dan ketahui witru al-mailnya maka angka tersebut adalah witru al-mail. Kemudian kurangkan dengan 90º maka hasilnya adalah witru tamam al-mail. Ambil nilai tersebut dari awal rasi Haml sampai nilai derajat yang dicari, kemudian cari nilai deklinasinya dan nilai witrunya maka itu adalah witru maili darajah. Kemudian kurangi dengan 90º dan cari witrunya maka hasilnya adalah witru tamam maili darajah, kalikan antara witru maili darajah dengan witru tamam mail, hasilnya dibagi dengan witru al-mail kemudian hasilnya kalikan dengan nisfu al-qutri yaitu 60º kemudian bagi dengan witru tamam maili darajah maka hasilnya diqauskan, nilai Qaus yaitu nilai terbitnya di orbit nisfu nahar dari awal rasi Haml sampai nilai derajat yang dicari.

Langkah-langkah mencari مطالع البروج في الفلك المستقيم

§  Ambil nilai الميل  yaitu ( كج له) 23º 35′

§  Cari nilai وتر الميل

§  Kurangi 90º dengan الميل

§  Cari وتر  dari hasil pengurangan               وتر تمام الميل

§  Ambil nilai tersebut dari awal rasi Haml             cari nilai ميل الدرجة

§  Cari nilai وتر ميل الدرجة            وتر ميل الدرجة

§  Kurangi 90º dengan ميل الدرجة, cari                وتر تمام ميل الدرجة

§  Kalikan antara وتر ميل الدرجة dengan وتر تمام الميل

§  Hasil perkalian dibagi dengan وتر الميل

§  Hasil pembagian dikalikan dengan نصف القطر (60º)

§  Hasil prkalian dibagi dengan وتر تمام ميل الدرجة              hasilnya diqauskan

§  Hasil qaus adalah nilai terbitnya di busur siang diambil dari awal rasi Haml sampai nilai darajah

Jika menghitung pada derajat 30 maka itu adalah terbitnya rasi Haml, jika menghitung pada derajat 60 maka itu adalaha terbitnya rasi Haml dan rasi Tsaur, kemudian kurangkan dari rasi Haml dan Tsaur dengan 90 maka itu adalah terbitnya rasi Jauza’. Jika terbitnya rasi Haml sudah diketahui maka rasi Sunbulah, rasi Hut dan rasi Mizan, sedangkan terbitnya rasi  Asad, rasi Dalwu dan rasi ‘Aqrab sama dengan terbitnya rasi Tsaur, dan terbitnya rasi Qaus, rasi Jadyu, rasi Sarathan sama dengan terbitnya rasi Jauza’. Dengan penggambaran ini, maka dapat ditentukan terbitnya rasi bintang dan dapat dituliskan dalam jadwal atau tabel.

Tabel angka jumali dengan menggunakan huruf-huruf arab:

1 2 3 4 5 6 7 8 9
أ ب ج د ه و ز ح ط
0 ي ك ل م ن س ع ف ص
00 ق ر ش ت ث خ ذ ض ظ
000 غ بغ جغ دغ هغ وغ زغ حغ طغ

 

Penutup

Perjalanan ilmu pengetahuan dari dulu hingga saat ini terus mengalami perkembangan cukup pesat, terbukti dengan banyak sekali penemuan-penemuan termasuk pada bidang astronomi. Islam sendiri dalam perkembangan peradabannya juga telah menghasilkan banyak saintis handal. Namun meski ilmu pengetahuan terutama astronomi terus berkembang, ternyata kita melupakan satu hal bahwa ternyata saintis muslim ikut mewarnai perkembangan pengetahuan tersebut.

Pendekatan historis yang tidak pernah diakses sehingga hampir menutup mata kita bahwa lebih dari berabad-abad yang lalu al-Battani seorang astronom terkemuka pada jamannya telah menciptakan sebuah kitab yang pada saat itu sangat fenomenal serta menjadi pondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Sehingga kitab ini layak menjadi referensi bagi kita sebagai penuntut ilmu falak.

DAFTAR RUJUKAN

Abi ‘Abdullah Muhammad bin Sannan bin Jabir al-Harrani al-Battani, 1899, Kitab az-Zij ash-Shabi’, Rumiyah.

 

‘Ali Syawakh Ishaq Asy-Syu’aibi, 1985, AL-Battani Ar-Raqiy, Al-Battani Ahadu al-Falakiyyin al-‘Isyrin al-Awail fi al-‘Alam, Beirut: Dar as-salam.

 

Azhari, Susiknan, 2008, Ensilkopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Khazin, Muhyiddin,  2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktis, Yogyakarta: Buana Pustaka.

 

Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty.

 

Ramdan, Anton, 2009,  Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indonesia.

 

Sucipto, Hery, 2008, The Great Muslim Scientist, Pemikiran dan Penemuan 22 Ilmuan Muslim Kebanggan Dunia. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.

 

http://pepenefendi.wordpress.com/2010/05/14/al-battani-peletak-dasar-astromi/

 

http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/11108-al-battani-nenek-moyang-astronot-islam.html

 

http://sidikpurnomo.net/gerak-semu-matahari.html

 

 


[1] Anton Ramdan, Islam dan Astronomi (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009), 141.

[2] Hery Sucipto, The Great Muslim Scientist, Pemikiran dan Penemuan 22 Ilmuan Muslim Kebanggan Dunia (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2008), 112.

[4]Kata zij berasal dari bahasa Sansekerta, yang masuk dalam bahasa Arab dan Persia melalui bahasa Pahlevi yang berarti tabal astronomi. Tapi sebenarnya kebanyakan zij tidak hanya memuat tabel, tetapi juga membahas teori astronomi, tentang kronologi, penjelasan luas tentang astronomi matematis dan subjek lain yang berhubungan. Zij yang merupakan satu bagian literatur ilmu falak, biasanya dinamakan menurut penyusunnya atau penunjang atau kota, tempat disusun, walaupun sering juga digunakan cara penamaan yang lain.(Susiknan Azhari, Ensilkopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 246).

[5] Tiitk terjauh pada peredaran (orbit) bend alangit dari benda yang diedarinya, dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah aphelium atau dalam bahas Inggris apogee.

[6] Titik terdekat suatu benda langit terhadap benda yang diedarinya, atau dalam bahasa Latin dikenal dengan perihelium dan perigee dalam bahasa Inggris.

[7]‘Ali Syawakh Ishaq Asy-Syu’aibi, AL-Battani Ar-Raqiy, Al-Battani Ahadu al-Falakiyyin al-‘Isyrin al-Awail fi al-‘Alam (Beirut: Dar as-salam, 1985), 90.

[9] Internet, dalam website: http://sidikpurnomo.net/gerak-semu-matahari.html, akses: 31 Oktober 2010.

[10]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktis (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), 66.

[11] Abdur Rachim, Ilmu Falak (Yogyakarta: Liberty, 1983), 8.

[12] Disebut juga dengan istilah khat al-istiwa’ yaitu lingkaran equator yang membagi bola langit menjadi dua bagian yang sama besar, daerah yang menjadi permulaan perhitungan lintang atau lintang 0º. Dinamakan falaki mu’addal an-nahar karena apabila matahari berada pada lingkaran ini maka siang dna malam sama untuk seluruh tempat.

[13]Perubahan deklinasi matahari mengakibatkan pula perubahan dalam perbandingan antara panjangnya busur siang dan malam. Oleh karena itu, siang hari tidak sama panjangnya bagi suatu tempat selama satu tahun, adakalnay panjang adakalanya pendek. Hanya tempat-tempat yang terletak di khatulistiwa yang panjang siang dan malam selalu sama. (Abdur Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, 16)





Hello world!

28 11 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!