SUDUT WAKTU DAN WAKTU ISTIWA’

28 11 2010

I. PENDAHULUAN

Penentuan awal waktu shalat merupakan bagian dari ilmu falak yang perhitungannya ditetapkan berdasarkan garis edar matahari atau penelitian posisi terhadap matahari. Sudah jelas dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan bahwa shalat yang diwajibkan maupun yang disunahkan bagi kaum muslimin mempunyai waktu-waktu tersendiri yang sudah ditetapkan.

Sesungguhnya shalat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu” ( Q.S. An-Nisa’ :103 )

“Dirikanlah shalat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah shalat subuh sesungguhnya shalat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”. ( Q.S. Al-Isra’ : 78 )

Dengan berkembangnya peradaban manusia yang didukung dengan perkembangan IPTEK, berbagai kemudahan-kemudahan diciptakan untuk membuat manusia lebih praktis dalam segala hal termasuk dalam beribadah khususnya shalat fardhu. Saat ini kita mengetahui banyak sekali diterbitkan jadwal waktu shalat dari berbagai instansi maupun organisasi antara lain; Departemen Agama, PP Muhammadiyah, PP Persis, PP Nahdatul Ulama (NU) dsb. Namun kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari kaidah yang sebenarnya digunakan untuk menentukan waktu shalat yaitu “Pergerakan Matahari ” dilihat dari bumi.

Pada zaman Rasulullah waktu shalat ditentukan berdasarkan observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung matahari. Lalu berkembang dengan dibuatnya Jam Surya atau Jam Matahari serta Jam Istiwa atau seing disebut Tongkat Istiwa dengan kaidah bayangan matahari.

Dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang lingkaran waktu yang akhirnya menghasilkan sudut waktu ketika diapit dengan lingkaran meridian. Selain itu juga membahas tentang waktu istiwa’ atau waktu hakiki dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.

II. PEMBAHASAN

A. LINGKARAN WAKTU

Perjalanan matahari menurut arah dari timur ke barat yang menyebabkan pergantian siang dan malam bukanlah perjalanan yang hakiki, namun hal tersebut disebabkan adanya rotasi bumi yang dari arah barat ke timur selama 24 jam untuk sehari semalam. Hal tersebut mengakibatkan semua benda langit yang berada di sekitar bumi tampak berjalan dari timur ke barat tegak lurus dengan poros bumi.[1]

Dari Kutub Langit Utara ke Kutub Langit Selatan dapat dibuat lingkaran-lingkaran yang jumlahnya tidak terbatas, yang semuanya tegak lurus pada lingkaran equator. Lingkaran-lingkaran ini disebut lingkaran waktu. Jadi yang dimaksud lingkaran waktu adalah lingkaran besar yang ditarik dari Kutub Langit Utara ke Kutub langit Selatan tegak lurus dengan lingkaran khatulistiwa langit.[2] Diantara sekian banyak lingkaran waktu, ada satu lingkaran yang istimewa yaitu terdapat di dalamnya garis vertikal (lingkaran yang melewati titik Z dan N), garis khatulistiwa (titik E dan Q) dan garis horizon (titik U dan S, yaitu lingkaran meridian..[3]

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Dr. Susiknan Azhari dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, bahwa yang dimaksud lingkaran waktu adalah lingkaran pada bola langit yang menghubungkan kedua titik kutub. Dimana lingkaran yang menghubungkan dua kutub ini berpusat pada bola langit.[4]

Perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar I:

 

Keterangan:

EQ = Equator

Ku = Kutub utara

Ks = Kutub selatan

Lingkaran yang menghubungkan KU-Ks = Lingkaran waktu[5]

Semua lingkaran waktu yang terlihat dalam gambar I tersebut membentuk sudut 90 terhadap lingkaran Khatulistiwa.[6]

 

B. SUDUT WAKTU

Sudut waktu adalah setiap lingkaran waktu yang membuat sudut dengan lingkaran merindian. Semua benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama, berlaku hukum bahwa jarak waktu yang memisahkan mereka dari kedudukan mereka sewaktu berkulminasi adalah sama. Sudut waktu berharga positif (+) jika benda langit bersangkutan berkedudukan di belahan langit sebelah barat dan berlaku sebaliknya, jika benda langit sedang berkulminasi sudut waktu = 0°, seterusnya besar sudut waktu diukur dengan derajat sudut dari 0° sampai 180°.[7]

Dalam pengertian yang sederhana setiap lingkaran waktu membuat sudut dengan lingkaran meridian. Sudut yang diapit oleh lingkaran meridian dengan lingkaran waktu disebut sudut waktu (Arab: السوائية زوية, Inggris: Hour Circle atau Hour Angle), yang biasanya diberi tanda t.

Sudut tersebut dinamakan sudut waktu, karena setiap benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama berlaku kaidah: bahwa jarak waktu yang memisahkan benda-benda langit dari kedudukannya sewaktu berkulminasi adalah sama.[8] Maksudnya adalah bahwa benda-benda langit yang terletak pada lingkaran waktu yang sama, berkulminasi pada waktu yang sama pula. Besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi.[9]

Perhatikan gambar berikut:

Gambar II:

 

 

Keterangan:

EQ = Equator

Z = Zenith

N = Nadir

U = Utara

S = Selatan

Ku = Kutub Utara

Ks = Kutub selatan

Dari gambar di atas tampak dapat kita lihat, bahwa sudut ZKuKs adalah sudut yang dibentuk oleh lingkaran waktu dan lingkaran meridian, sudut tersebut adalah sudut waktu.

Besarnya sudut waktu itu menunjukkan tentang berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit yang bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Pada saat benda langit berada di titik kulminasi atas, maka waktu benda langit adalah 0°.

Apabila benda langit sedang berkedudukan di belahan langit bagian barat, maka sudut waktunya diberi tanda positif, begitu sebaliknya jika berkedudukan di belahan langit timur maka sudut waktunya diberi tanda negatif.

Besar sudut waktu berkisar antara 0° sampai 180°, untuk setiap jam rata-rata sudut waktu berubah 15°. Hal ini disebabkan karena perputaran benda-benda angkasa yang disebabkan perputaran bumi pada porosnya, rata-rata untuk satu kali putaran memerlukan waktu sekitar 24 jam.[10] Dengan demikian dapatlah jumlah derajat sudut waktu dipindahkan menjadi jumlah jam,menit dan detik, karena:

360°     = 24 jam                      15’       = 1 menit

15°       = 1 jam                        1’         = 4 detik[11]

1°         = 4 menit

Nilai sudut waktu selain menggunakan 0º-180º, ada juga yang menggunakan 0º -360º dengan nilai di atas 180º bernilai negatif, yang kedua ini bisa dijumpai dalam Almanac Nautica, namun keduanya sama saja.

Menurut Susiknan besarnya sudut waktu itu menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit yang bersangkutan dari kedudukannya sewaktu berkulminasi.[12]

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa nilai sudut waktu adalah antara 0° sampai 180º, nilai sudut waktu 0° ketika matahari berada di titik kulminasi atau tepat di meridian langit, sedangkan nilai sudut waktu 180º ketika matahari berada di titik kulminasi bawah. Nilai sudut waktu matahari ini dapat dihitung dengan rumus:

 

 

 

Keterangan:

t = sudut waktu                       f = lintang tempat

d = deklinasi matahari             h = tinggi matahari[13]

Sudut waktu dipengaruhi oleh bujur, namun dalam rumus tetap melibatkan lintang karena untuk menghitung tinggi matahari membutuhkan lintang. Setiap lintang yang berbeda maka tinggi matahari pun berbeda, selain itu ketika terjadi pergeseran KLU-KLS maka tinggi matahari juga berubah. Sudut waktu dapat dihitung mulai dari meridian sampai pada sudut yang terdekat dengan titik zenith.[14]

Contoh:[15]

Mencari sudut waktu untuk kota Bandung pada tanggal 1 Januari 2005, yang nantinya untuk menghitung awal waktu shalat Ashar sebagai berikut:

ϕ       : -6º 57′ LS

h        : 37º 50′

d : -22º 59′ 05″

 

 

 

 

 

 

Cos t  = 51º 43′ 16.21″ / 15

 

 

= 3 jam 26 menit 53.08 detik

Untuk mengkonversi nilai sudut waktu (t) menjadi satuan waktu dengan cara t  : 15, selanjutanya hasil dari nilai sudut waktu matahari berguna untuk menghitung awal waktu shalat.[16]

C. WAKTU ISTIWA’ ATAU HAKIKI

Sebagaimana dalam pembahasan gerak bumi bahwa gerak rotasi bumi untuk sekali putaran membutuhkan waktu rata-rata 24 jam, dengan kata lain dalam sehari semalam membutuhkan waktu 24 jam. Dikatakan rata-rata, karena waktu yang digunakan untuk mengukur itu dasarnya adalah perjalanan harian matahari, sedangkan perjalanan matahari tidak tetap. Maksudnya, untuk sehari-hari terkadang membutuhkan waktu lebih dari 24 jam dan terkadang kurang dari 24 jam.

Dalam istilah lain waktu istiwa’ atau hakiki juga disebut dengan waktu surya. Istiwa adalah fenomena astronomis saat posisi matahari melintasi meridian langit. Dalam penentuan waktu shalat, istiwa digunakan sebagai pertanda masuknya waktu shalat Dhuhur.  Pada saat tertentu di sebuah daerah dapat terjadi peristiwa yang disebut Istiwa Utama atau ‘Istiwa A’dzam yaitu saat posisi matahari berada tepat di titik Zenith (tepat di atas kepala) suatu lokasi dimana peristiwa ini hanya terjadi di daerah antara 23,5˚ Lintang Utara dan 23,5˚ Lintang Selatan.

Istiwa Utama yang terjadi di kota Makkah dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin di negara-negara sekitar Arab khususnya yang berbeda waktu tidak lebih dari 5 (lima) jam untuk menentukan arah kiblat secara presisi menggunakan teknik bayangan matahari. Istiwa A’dzam di Makkah terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Makkah dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 Waktu Makkah pada tahun-tahun biasa. Sedangkan untuk tahun-tahun Kabisat tanggal ini dapat maju 1 hari (27 Mei dan 15 Juli) seperti yang terjadi pada tahun 2008 ini.[17] Namun hal ini juga masih ada perbedaan pendapat, karena ada kalanya sebelum tanggal tersebut dan ada kalanya sesudahnya. Lebih lanjut dan lebih jelasnya tentang pembahasan istiwa’ a’dzam ini akan dibahas dalam makalah lain.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa waktu istiwa juga ada hubungannya dengan waktu shalat dhuhur, maka di sini juga akan dibahas sedikit tentang waktu shalat dhuhur. Waktu dhuhur disebut juga waktu zawaal terjadi ketika matahari sedikit tergelincir setelah berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan

Tengah Hari (midday/noon). Pada saat Istiwa, mengerjakan ibadah shalat (baik wajib maupun sunnah) adalah haram kecuali ada sebab-sebab tertentu. Waktu dhuhur tiba sesaat setelah Istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke arah Barat. Waktu tengah hari dapat dilihat pada almanak astronomi atau dihitung dengan menggunakan algoritma tertentu. Secara astronomis, waktu dhuhur dimulai ketika tepi piringan matahari telah keluar dari garis zenith, yakni garis yang menghubungkan antara pengamat dengan pusat letak matahari ketika berada di titik tertinggi (Istiwa). Secara teoretis, antara Istiwa dengan masuknya Dhuhur ( z° ) membutuhkan waktu 2 menit, dan untuk faktor keamanan biasanya pada jadwal shalat waktu Dhuhur adalah 4 menit setelah Istiwa terjadi atau z =1°.[18]

Perhatikan gambar III di bawah ini:[19]

 

Pada gambar tersebut tergambar dengan jelas bahwa waktu istiwa’ itu tepat ketika matahari berkulminasi, sedang waktu dhuhur terjadi beberapa menit setelah matahari tergelincir.

Kembali pada pembahasan awal, bahwa untuk mengetahui tentang lebih atau kurangnya perjalanan matahari sehari semalam dari jumlah 24 jam, diukur dengan perjalanan ”matahari khayalan” yang benar-benar sehari semalam menempuh jarak waktu 24 jam.

Apabila perjalanan matahari yang sebenarnya dibandingkan dengan perjalanan matahari khayalan, maka akan terdapat selisih waktu antara keduanya. Dan karena perjalanan matahari yang sebenarnya tidak tetap waktunya, maka selisih waktu antara matahari yang sebenarnya dengan matahari khayalan juga tidak sama besarnya.

Waktu yang berdasarkan perjalanan matahari yang sebenarnya disebut waktu surya atau waktu surya hakiki setempat (apparent solar time), atau waktu hakiki setempat. Sedangkan waktu yang didasarkan pada perjalanan matahari khayalan dinamakan waktu pertengahan atau waktu matahari pertengahan (mean solar time), atau waktu umum (civil time). Dinamakan waktu umum karena waktu inilah yang dipakai umum, misalnya RRI, TVRI dan arloji kita.

Adapun selisih waktu antar waktu hakiki dengan waktu pertengahan dinamakan perata waktu (eqution of time), biasanya diberi lambang huruf e kecil. Dengan demikian, maka perata waktu merupakan selisih antar sudut waktu matahari hakiki dengan matahari pertengahan.

Dengan uraian di atas, maka dapat dirumuskan:[20]

 

 

 

Atau:

 

 

Perata waktu atau equation of time yang merupakan selisih antara waktu kulminasi dengan matahari rata-rata ini diperlukan untuk menghisab awal waktu shalat.[21] Equation of time ini berfungsi untuk mengetahui kecepatan gerak matahari, ketika kecepatan matahari cepat maka bernilai plus (+) dan sebaliknya ketika lambat bernilai minus (-). Untuk lebih detail dan rinci, pembahasan mengenai perata waktu atau yang lebih dikenal dengan equation of time (e) dan waktu pertengahan akan dibahas pada makalah selanjutnya.

Contoh[22]: mencari waktu pertengahan untuk kota Bandung pada tanggal 1 Januari 2005 dengan diketahui:

e = -3 menit 31 detik

Waktu pertengahan = 12 – (- 3 menit 31 detik)

= 12 jam 3 menit 31 detik

Rumus di atas merupakan rumus untuk mencari waktu pertengahan waktu yang biasa kita gunakan sehari-hari. Sedangkan waktu hakiki bisa dicari dengan rumus di bawah ini:

Dengan ketentuan bahwa nilai t pada pukul 12.00 bernilai 0 karena berhimpit dengan meridian.

Contoh:

1.      t = 74º 50’

WH = 12 + 74º 50’

=  12 + 4 jam 59 menit 20 detik

=  16.59.20

 

2. t = -165º 10’

WH = 12 + (-165º 10’)

= 12 – 11 jam 0 menit 40 detik

= 00.59.20

III. KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa peredaran matahari ternyata sangat menentukan salah satu proses peribadahan seperti shalat baik yang diwajibkan maupun yang disunahkan bagi kaum muslimin. Meskipun ada sebagian orang yang menganggap sepele akan hal ini, tetapi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, menetapkan waktu shalat hanya dengan keyakinan saja sudah tidak relevan lagi.

Terkait dengan sudut waktu yang merupakan sudut hasil perpaduan antara lingkaran waktu dan lingkaran meridian ini juga termasuk salah satu komponen dalam perhitungan awal waktu shalat. Karena dengan sudut waktu dapat ditentukan perbedaan waktu dari kedudukan benda tersebut ketika berkulminasi. Selain sudut waktu, waktu istiwa’ atau dikenal dengan istilah waktu hakiki juga termasuk hal penting, karena dengan mengetahui waktu istiwa’ maka kita dapat mengetahui waktu-waktu dilarangnya shalat tanpa sebab-sebab tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan  (2008) Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hambali, Slamet (1988) Buku Praktis Ilmu Falak tentang Penentuan Awal Waktu Shalat Penentuan Arah Qiblat di Seluruh Dunia. Semarang.

Ismail, M. Syuhudi (1984) Waktu Shalat dan Arah Kiblat Dasar-dasar dan Cara Menghitung Menurut Ilmu Ukur Segitiga Bola. Ujung Pandang: Taman Ilmu.

Jamil, A (2009) Ilmu Falak (Teori dan Aplikasi Arah Kiblat, Awal Waktu Shalatdan Tahun (Hisab Kontemporer). Jakarta: AMZAH.

Khazin, Muhyiddin (2004) Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.

Rachim, Abd. (1983) Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty.

Supriatna, Encup (2007) Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung: Refika Aditama.

http://nourly-samitha.blogspot.com/2010/02/resume-ilmu-falak.html

http://mutoha.blogspot.com/2008/05/rashdul-qiblat-2008.html

http://www.rukyatulhilal.org/waktu-shalat/index.html


[1] Slamet Hambali, Buku Praktis Ilmu Falak tentang Penentuan Awal Waktu Shalat Penentuan Arah Qiblat di Seluruh Dunia (Semarang, 1988), 15.

[2] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat Dasar-dasar dan Cara Menghitung Menurut Ilmu Ukur Segitiga Bola (Ujung Pandang: Taman Ilmu, 1984), 28-29.

[3] Ibid., 15.

[4] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),133.

[5] A. Jamil, Ilmu Falak(Teori dan Aplikasi Arah Kiblat, Awal Waktu Shalatdan Tahun (Hisab Kontemporer) (Jakarta: AMZAH, 2009), 14.

[6] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat……………….,28-29.

[8] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………..,29.

[9] Abd. Rachim, Ilmu Falak (Yogyakarta: Liberty, 1983), 7.

 

[10] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………………,29-30.

[11] Abd. Rachim, Ilmu Falak………………….,7.

[12] Susiknan Azhari, Ensiklopedi…………………………., 195.

[13] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), 81.

[14] Disampaikan oleh KH. Slamet Hambali pada mata kuliah Astronomi Bola pada tanggal 19 April 2010.

[15] Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya (Bandung: Refika Aditama, 2007), 39.

[16] Ibid., 94.

[20] M. Syuhudi Ismail, Waktu Shalat dan Arah Kiblat………………..,63-65.

[21] Encup Supriatna, Hisab Rukyat……………….., xii.

[22] Ibid., 33.





Al-Battani

28 11 2010

Pendahuluan

Kemajuan pearadaban Islam beserta perkembangan pesat ilmu pengetahuan yang melekat padanya, khususnya dalam bidang astronomi telah diakui oleh dunia setelah peradaban Yunani. Selama kurang lebih 14 abad, Islam memimpin peradaban dunia dan memecah rekor sebagai pearadaban yang paling lama memiliki kejayaan. Khilafah Islam dengan sistem pemerintahannya telah terbukti menjadi negara terdepan pada masa kejayaannya. Tidak hanya bermanfaat bagi Islam sendiri tetapi juga mampu menerangi kehidupan bangsa lain yang masih gelap dengan ilmu pengetahuan khususnya benua Eropa.

Islam telah melahirkan banyak sekali pakar-pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan khususnya dalam hal astronomi. Sebut saja salah satunya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sin’an al-Battanial-Harrani, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Battani. Al-Battani merupakan salah satu astronom terhebat dalam sejarah pearadaban Islam. Hal ini terbukti dari karya-karya yang dihasilkannya, yang menjadi landasan ilmu astronomi masa kini. Penemuan yang dilakukan oleh al-Battani sangat dekat keakuratannya, sebagaimana beliau membagi kalender matahari menjadi 365 hari 5 jam 46 menit 24 detik. Penemuan inilah yang paling berkesan bagi masyarakat khususnya para ilmuwan dan astronom.

Salah satu hasil karyanya yang terbukukan adalah kitab yang Zij ash-Shabi’ atau Zij al-Battani. Kitab Zij inilah yang pertama kali membahas tentang azimuth, titik nadhir, titik terdekat dan terjauh matahari dari bumi, ilmu trigonometri bola dan masih banyak lagi khususnya yang berkaitan dengan ilmu astronomi.

Dalam makalah ini akan mengupas sedikit isi dari keseluruhan isi kitab Zij al-Battani. Pembahasan  dalam makalah ini berkaitan dengan penentuan deklinasi yang ada dalam kitab Zij al-Battani. Semoga bermanfaat.

 

Biografi al-Battani

Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sin’an al-Battani al-Harrani, di barat dikenal sebagai al-Bategnius. Ia seorang ahli astronomi dan ilmu hisab, al-Battani memiliki posisi penting sebagai ahli astronomi terunggul pada zamannya dan juga pada zaman pertengahan. Al-Battani lahir di Harran sekitar tahun 858M, nama daerah yang oleh orang-orang Roma disebut juga Carrhae yang sekarang masuk  wilayah Turki. Harran berada di atas sungai Balikh, 38 km di sebelah tenggara Urfa.

Mengenai kelahiran  al-Battani tidak diketahui secara pasti karena banyak pendapat, namun sebagian besar sumber mengatakan bahw aal-Battani lahir sekitar tahun 858 M.[1] Al-Battani awalnya hidup di kalangan komunitas Sekte Sabian, suatu sekte pemuja bintang yang religious dari Harran. Orang-orang Sabian mempunyai motivasi yang kuat untuk mempelajari ilmu perbintangan. Mereka banyak menghasilkan para ahli matematika dan ahli falak terkemuka seperti Thabit ibn Qurra. Namun al-Battani bukan seorang Sabian, dari nama yang melekat pada dirinya menunjukkan bahwa ia seorang muslim.

Ditilik dari latar belakang keluarganya, al-Battani memiliki keturunan darah ilmuwan. Ayahandanya yang bernama Jabir ibn Sin’an juga seorang pakar sains terkenal. Sang ayah telah mengarahkan al-Battani untuk menekuni dunia pengetahuan sejak kecil. Menginjak remaja ia berhijrah ke Raqqa yang terletak di pinggir Euprates, untuk menekuni bidang sains. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkan Harran menuju Raqqa yang terletak di tepi Sungai Eufrat, di sana ia melanjutkan pendidikannya. Di kota inilah ia melakukan beragam penelitian hingga ia menemukan berbagai penemuan cemerlangnya. Pada saat itu, Raqqa menjadi terkenal dan mencapai kemakmuran.

Ini disebabkan karena khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima dalam dinasti Abbasiyah, pada 14 September 786 membangun sejumlah istana di kota tersebut. Ini merupakan penghargaan atas sejumlah penemuan yang dihasilkan oleh penelitian yang dilakukan al-Battani. Usai pembangunan sejumlah istana di Raqqa, kota ini menjadi pusat kegiatan baik ilmu pengetahuan maupun perniagaan yang ramai.[2]

Pada penghujung abad ke-9, al-Battani hijrah ke Samara, dan bekerja disana hingga ia meninggal dunia pada 929M. Al-Battani meninggal dunia dalam perjalanan dari Raqqa ke Baghdad. Perjalanan ini dilakukan sebagai bentuk protes kerana beliau dikenakan pajak yang berlebih. Al-Battani memang mencapai Baghdad untuk menyampaikan keluhannya kepada pihak pemerintah. Namun, beliau menghembuskan nafas akhirnya ketika dalam perjalanan pulang dari Baghdad ke Raqqa.

Sejak tahun 877 sampai 929M, al-Battani telah membuat banyak kajian dan pelajaran dalam bidang astronomi sampai berhasil menemukan berbagai karya ilmiah.[3]

 

Sekilas tentang Kitab Zij al-Battani

Al-Battani berpendapat bahwa ilmu falak merupakan ilmu penting, sebagaimana al-Battani telah melakukan berbagai pengamatan seperti penetapan beliau tentang pergerakan bintang-bintang pada masanya. Al-Battani juga telah menentukan nilai deklinasi bintang-bintang dan membuat pembenaran tentang panjang musim.

Buku al-Battani tentang astronomi yang paling terkenal adalah Kitab al-Zij.[4] Menurut Doktor Abdul Halim bahwa kitab Zij ash-Shabi’ merupakan hasil karya teragung dari al-Battani yang berisi tentang hasil-hasil perhitungan dan tabel-tabel falak, gerakan bintang pada orbitnya, serta dapat juga untuk menghitung bulan, hari dan tanggal. Dalam Zij ash-Shabi’ ini juga dapat diketahui tentang titik terjauh bintang (الأوج)[5] dan titik terdekat (الحضيض)[6] dari bumi. Berdasarkan hasil pengamatan al-Battani bahwa titik terjauh antara bumi dan matahari bertambah 16º 47′.[7]

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dengan judul De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibus oleh Plato dari Tivoli. Terjemahan tertua dari karyanya itu masih ada di Vatikan. Terjemahan buku tersebut tidak hanya dalam bahasa latin tetapi juga bahasa lainnya.

Terjemahan ini keluar pada 1116 sedangkan edisi cetaknya beredar pada 1537 dan pada 1645. Sementara terjemahan karya tersebut ke dalam bahasa Spanyol muncul pada abad ke-13. Pada masa selanjutnya baik terjemahan karya Al Battani dalam bahasa Latin maupun Spanyol tetap bertahan dan digunakan secara luas.Tidak heran bila tulisannya, sangat memberikan pengaruh bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa hingga datangnya masa pencerahan. Dalam Fihrist, yang dikompilasi Ibn an-Nadim pada 988, karya ini merupakan kumpulan Muslim berpengaruh pada abad ke-10, dinyatakan bahwa al-Battani merupakan ahli astronomi yang memberikan gambaran akurat mengenai bulan dan matahari.[8]

Kitab Zij ash-Shabi’ sejauh ini yang paling penting karyanya. Buku ini berisi 57 bab, dimulai dengan deskripsi pembagian bola langit ke dalam tanda-tanda zodiak dan ke derajat. Latar belakang yang diperlukan alat-alat matematika ini kemudian diperkenalkan (seperti operasi hitung pada pecahan sexagesimal dan fungsi trigonometri). Bab 49 melalui 55 masalah astrologi, sedangkan bab 56 membahas pembangunan sebuah jam matahari. Bab terakhir membahas pembangunan sejumlah instrumen astronomi.

Pencapaian utama dari Zij ash-Shabi’, beliau berhasil dengan  489 katalog  bintang. Al-Battani menyempurnakan nilai-nilai yang ada untuk panjang tahun yaitu 365 hari 5 jam 48 menit 24 detik, dan dari musim.

Sedikit memaparkan muqaddimah dari kitab ini, bahwa pada awal kitab ini disebutkan tentang pembagian musim yang ada di bumi ada empat yaitu, musim gugur, musim semi, musim panas dan musim dingin. Pembagian rasi bintang ada 12 yaitu rasi Haml, rasi Tsaur, rasi Jauza’, rasi Sarathan, rasi Asad, rasi Sunbulah, rasi Mizan, rasi ‘Aqrab, rasi Qaus, rasi Jadyu, rasi Dalwu dan rasi Hut, dimana setiap rasi bernilai 30º. Setiap 1º bernilai 60 menit, setiap satu menit bernilai 60 detik.

Dalam kitab ini menggunakan istilah-istilah seperti derajat, daqiqah, tsawani, tsawalis, rawabi’ dan seterusnya. Pada awal kitab ini juga diperkenalkan tentang perkalian yaitu mengalikan anatara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Jika dalam perkalian busur, maka ketika derajat dikali derajat hasilnya derajat, daqiqah dikalikan dengan daqiqah hasilnya tsawani, daqiqah dikalikan dengan tsawani hasilnya tsawalis, tsawani dikalikan tsawani hasilnya rawabi’, tsawani dikalikan tsawalis hasilnya khowamis begitu seterusnya.

 

 

Pembahasan

Deklinasi Matahari

Sebelum masuk pada pembahasan deklinasi yang terdapat dalam kitab Zij ash-Shabi’, penulis akan membahas sedikit tentang hal-hal yang berkaitan dengan deklinasi. Deklinasi merupakan jarak suatu benda langit dari equator yang dihitung sepanjang lingkaran waktu. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan sedikit yang berkaitan dengan deklinasi matahari.

Adanya pergantiam musim sepanjang tahun disebabkan oleh gerak semu matahari. Gerak semu ini adalah peredaran matahari jika dilihat dari bumi sepanjang tahun. Pada tanggal 21 Juni, matahari akan terbit di koordinat 23,5 derajat, atau sejauh 23,5 derajat arah utara dari khatulistiwa. Sebaliknya di bulan Desember tanggal 22, matahari terbit di -23,5 derajat, atau sejauh 23,5 derajat arah selatan khatulistiwa. Bumi bergerak mengelilingi matahari (revolusi), dan juga berotasi terhadap sumbu bola bumi. Namun sumbu rotasi bumi itu tidak tegak lurus terhadap sumbu revolusi. Karena kemiringan itu, wilayah yang diterangi matahari sepanjang tahun berbeda-beda. Selama setengah tahun, matahari lebih banyak menerangi wilayah utara ketimbang wilayah selatan, dan setengah tahun berikutnya hal sebaliknya yang terjadi. Jika fenomena ini diamati sepanjang tahun dari bumi, maka terlihat seolah-olah matahari itu bergerak dari utara ke selatan selama setengah tahun, dan kemudian balik lagi bergerak dari selatan ke utara pada setengah tahun berikutnya. Dalam bola langit, lintasan gerak semu matahari itu disebut ekliptika.[9]

Lintasan semu matahari itu menggambarkan adanya perubahan deklinasi matahari secara periodik. Deklinasi adalah jarak antara sebuah benda langit dengan “khatulistiwa langit”. Khatulistiwa langit ini sendiri merupakan proyeksi khatulistiwa bumi terhadap bola langit – kalau diambil asumsi bahwa langit berbentuk bola.

Apabila matahari berada di sebelah utara  equator maka deklinasi bernilai positif (+) dan sebaliknya jika berada di sebelah selatan maka bernilai negatif (-). [10]

Pada tanggal 21 Maret sampai tanggal 23 September deklinasi matahari positif, sedangkan dari tanggal 23 September sampai 21 Maret negative. Pada tanggal 21 Maret dan 23 September matahari berkedudukan di equator dengan deklinasi 0º.  Sesudah tanggal 21 Maret matahari berangsur-angsur bergerak ke utara menjauhi equator, hingga pada tanggal 21 Juni matahari mencapai kedudukannya yang paling jauh dengan equator yaitu 23º 27′ utara. Setelah itu bergerak kembali ke selatan , hingga pad atanggal 23 September berada di equator, dan tanggal 22 Desember berada pada posisi yang paling jauh dari equator yaitu -23º 27′ selatan. Dari pergerakan kedudukan matahari selama setahun, deklinasi matahari selalu berubah tidak hanya dari hari ke hari tapi tiap jam selalu berubah.[11]

 

Deklinasi dalam Kitab Zij ash-Shabi’

Mengetahui Deklinasi Bintang

Dalam bab ini dibahas tentang deklinasi baik dari ketika deklinasi naik maupun turunnya. Sebagaimana dituturkan oleh Ptolomius dalam bukunya al-Magesty bahwa nilai atau ukuran qaus antara musim panas dan musim dingin di busur siang adalah 47º 42′, sedangkan deklinasinya yaitu separoh dari nilai tersebut yaitu 23º 51′. Sedangkan menurut kitab Zij ash-Shabi’ ini, nilai antara dua musim adalah 47º 10′, dan deklinasinya bernilai separuhnya yaitu 23º 35′.

Untuk mengetahui deklinasi, maka ketahui hishahnya sampai sempurna 90º yang disempurrnakan yaitu (كج له) 23º 35′ kemudian ambil witrunya satu derajat, dua derajat atau lebih sampai 90º dari awal rasi Haml sampai akhir rasi Jauza’. Jika sudah diketahui witru durji maka kalikan dengan witru al-mail, kemudian hasilnya dibagi dengan nisfu al-qutri yaitu 60º kemudian hasilnya diqauskan, nilai Qaus tersebut adalah nilai deklinasinya dari falaki mua’ddal an-nahar[12] pada falaki nisfu an-nahar. Jika akan memasukkan data deklinasi pada tabel, maka harus mengetahui deklinasi masing-masing bintang.

–       Deklinasi dengan nilai  90º – 180º, maka seperti kebalikan deklinasi 90º

–       Deklinasi dengan nilai 180º – 270º, maka sama dengan deklinasi 90º

–       Deklinasi dengan nilai 270º – 360º, maka seperti kebalikan deklinasi 90º

Perhitungan ini telah tertulis dalam jadwal dengan dibuat berupa empat kolom, kolom pertama yaitu dengan nilai sampai 90º, kolom kedua merupakan nilai 180º dikurangi dari nilai kolom pertama, kolom ketiga merupakan nilai 270º dikurangi pada kolom pertama dan kolom terakhir yaitu nilai 360 dikurangi nilai pada kolom pertama. Jika terletak pada kolom pertama dan kedua maka deklinasi pada sisi utara dari equator, dan jika terletak pada kolom ketiga dan keempat maka deklinasi pada posisi selatan dari equator.

Untuk mengetahui deklinasi matahari atau yang lainnya maka ambil nilai dari awal rasi haml sampai pada bujur ekliptik matahari atau yang lainnya yang akan dicari deklinasinya, maka itu adalah hishatul mail. Ambil nilai yang serupa pada baris keempat yang tertulis di tabel deklinasi, ambil nilai derajat, menit, dan detiknya maka itu adalah nilai deklinasinya.

Langkah-langkah:

§  Ambil nilai dari awal rasi Haml sampai bujur ekliptik matahari

§  Maka nilai itu adalah hishatul mail

§  Cari nilai tersebut di tabel deklinasi, cari derajat, menit dan detiknya maka itu adalah deklinasinya.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kedudukan deklinasi sebagai berikut:

–       jika antara (ه) 5 sampai (ص) 90 maka deklinasi bertambah dan matahari naik ke utara

–       jika antara (ص) 90 sampai (قف) 180 maka deklinasi berkurang dan matahari turun dari utara

–       jika antara (قف) 180 sampai (رع) 270 maka deklinasi bertambah dan matahari turun ke selatan

–       jika antara (رع) 270 sampai (شس) 360 maka deklinasi berkurang dan matahari naik ke selatan

Dengan ketetapan di atas ini, maka jika hisotul mail antara  (ه) 5 – (قف) 180 maka deklinasi utara, jika antara (قف) 180 – (شس) 360 maka deklinasi selatan. Dengan perhitungan ini maka dapat diketahui deklinasi matahari baik naik atau turunnya.

Deklinasi telah dibagi menjadi enam tingkatan, setiap 15º dari perjalanan matahari maka disebut satu tingkatan baik naik maupun turunnya sampai sempurna 90º pada tingkatan keenam. Pada 15º pertama maka disebut tingkatan pertama, 15º kedua disebut tingkatan kedua dan begitu seterusnya sampai pada tingkatan keenam.

Mengetahui Terbitnya Bintang di Khatulistiwa

Dalam kitab Zij ini disebutkan istilah al-falak al-mustaqim yaitu daerah khatulistiwa, daerah yang tidak ada lintangnya atau lintang 0º, daerah dimana busur siang dan malam sepanjang waktu adalah sama.[13]

Untuk mengetahui nilai derajat suatu bintang yang terbit di daerah khatulistiwa, maka ambil nilai deklinasi keseluruhan yaitu  (كج له ) 23º 35′, dan ketahui witru al-mailnya maka angka tersebut adalah witru al-mail. Kemudian kurangkan dengan 90º maka hasilnya adalah witru tamam al-mail. Ambil nilai tersebut dari awal rasi Haml sampai nilai derajat yang dicari, kemudian cari nilai deklinasinya dan nilai witrunya maka itu adalah witru maili darajah. Kemudian kurangi dengan 90º dan cari witrunya maka hasilnya adalah witru tamam maili darajah, kalikan antara witru maili darajah dengan witru tamam mail, hasilnya dibagi dengan witru al-mail kemudian hasilnya kalikan dengan nisfu al-qutri yaitu 60º kemudian bagi dengan witru tamam maili darajah maka hasilnya diqauskan, nilai Qaus yaitu nilai terbitnya di orbit nisfu nahar dari awal rasi Haml sampai nilai derajat yang dicari.

Langkah-langkah mencari مطالع البروج في الفلك المستقيم

§  Ambil nilai الميل  yaitu ( كج له) 23º 35′

§  Cari nilai وتر الميل

§  Kurangi 90º dengan الميل

§  Cari وتر  dari hasil pengurangan               وتر تمام الميل

§  Ambil nilai tersebut dari awal rasi Haml             cari nilai ميل الدرجة

§  Cari nilai وتر ميل الدرجة            وتر ميل الدرجة

§  Kurangi 90º dengan ميل الدرجة, cari                وتر تمام ميل الدرجة

§  Kalikan antara وتر ميل الدرجة dengan وتر تمام الميل

§  Hasil perkalian dibagi dengan وتر الميل

§  Hasil pembagian dikalikan dengan نصف القطر (60º)

§  Hasil prkalian dibagi dengan وتر تمام ميل الدرجة              hasilnya diqauskan

§  Hasil qaus adalah nilai terbitnya di busur siang diambil dari awal rasi Haml sampai nilai darajah

Jika menghitung pada derajat 30 maka itu adalah terbitnya rasi Haml, jika menghitung pada derajat 60 maka itu adalaha terbitnya rasi Haml dan rasi Tsaur, kemudian kurangkan dari rasi Haml dan Tsaur dengan 90 maka itu adalah terbitnya rasi Jauza’. Jika terbitnya rasi Haml sudah diketahui maka rasi Sunbulah, rasi Hut dan rasi Mizan, sedangkan terbitnya rasi  Asad, rasi Dalwu dan rasi ‘Aqrab sama dengan terbitnya rasi Tsaur, dan terbitnya rasi Qaus, rasi Jadyu, rasi Sarathan sama dengan terbitnya rasi Jauza’. Dengan penggambaran ini, maka dapat ditentukan terbitnya rasi bintang dan dapat dituliskan dalam jadwal atau tabel.

Tabel angka jumali dengan menggunakan huruf-huruf arab:

1 2 3 4 5 6 7 8 9
أ ب ج د ه و ز ح ط
0 ي ك ل م ن س ع ف ص
00 ق ر ش ت ث خ ذ ض ظ
000 غ بغ جغ دغ هغ وغ زغ حغ طغ

 

Penutup

Perjalanan ilmu pengetahuan dari dulu hingga saat ini terus mengalami perkembangan cukup pesat, terbukti dengan banyak sekali penemuan-penemuan termasuk pada bidang astronomi. Islam sendiri dalam perkembangan peradabannya juga telah menghasilkan banyak saintis handal. Namun meski ilmu pengetahuan terutama astronomi terus berkembang, ternyata kita melupakan satu hal bahwa ternyata saintis muslim ikut mewarnai perkembangan pengetahuan tersebut.

Pendekatan historis yang tidak pernah diakses sehingga hampir menutup mata kita bahwa lebih dari berabad-abad yang lalu al-Battani seorang astronom terkemuka pada jamannya telah menciptakan sebuah kitab yang pada saat itu sangat fenomenal serta menjadi pondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Sehingga kitab ini layak menjadi referensi bagi kita sebagai penuntut ilmu falak.

DAFTAR RUJUKAN

Abi ‘Abdullah Muhammad bin Sannan bin Jabir al-Harrani al-Battani, 1899, Kitab az-Zij ash-Shabi’, Rumiyah.

 

‘Ali Syawakh Ishaq Asy-Syu’aibi, 1985, AL-Battani Ar-Raqiy, Al-Battani Ahadu al-Falakiyyin al-‘Isyrin al-Awail fi al-‘Alam, Beirut: Dar as-salam.

 

Azhari, Susiknan, 2008, Ensilkopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Khazin, Muhyiddin,  2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktis, Yogyakarta: Buana Pustaka.

 

Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty.

 

Ramdan, Anton, 2009,  Islam dan Astronomi, Jakarta: Bee Media Indonesia.

 

Sucipto, Hery, 2008, The Great Muslim Scientist, Pemikiran dan Penemuan 22 Ilmuan Muslim Kebanggan Dunia. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.

 

http://pepenefendi.wordpress.com/2010/05/14/al-battani-peletak-dasar-astromi/

 

http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/11108-al-battani-nenek-moyang-astronot-islam.html

 

http://sidikpurnomo.net/gerak-semu-matahari.html

 

 


[1] Anton Ramdan, Islam dan Astronomi (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009), 141.

[2] Hery Sucipto, The Great Muslim Scientist, Pemikiran dan Penemuan 22 Ilmuan Muslim Kebanggan Dunia (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2008), 112.

[4]Kata zij berasal dari bahasa Sansekerta, yang masuk dalam bahasa Arab dan Persia melalui bahasa Pahlevi yang berarti tabal astronomi. Tapi sebenarnya kebanyakan zij tidak hanya memuat tabel, tetapi juga membahas teori astronomi, tentang kronologi, penjelasan luas tentang astronomi matematis dan subjek lain yang berhubungan. Zij yang merupakan satu bagian literatur ilmu falak, biasanya dinamakan menurut penyusunnya atau penunjang atau kota, tempat disusun, walaupun sering juga digunakan cara penamaan yang lain.(Susiknan Azhari, Ensilkopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, 246).

[5] Tiitk terjauh pada peredaran (orbit) bend alangit dari benda yang diedarinya, dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah aphelium atau dalam bahas Inggris apogee.

[6] Titik terdekat suatu benda langit terhadap benda yang diedarinya, atau dalam bahasa Latin dikenal dengan perihelium dan perigee dalam bahasa Inggris.

[7]‘Ali Syawakh Ishaq Asy-Syu’aibi, AL-Battani Ar-Raqiy, Al-Battani Ahadu al-Falakiyyin al-‘Isyrin al-Awail fi al-‘Alam (Beirut: Dar as-salam, 1985), 90.

[9] Internet, dalam website: http://sidikpurnomo.net/gerak-semu-matahari.html, akses: 31 Oktober 2010.

[10]Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktis (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), 66.

[11] Abdur Rachim, Ilmu Falak (Yogyakarta: Liberty, 1983), 8.

[12] Disebut juga dengan istilah khat al-istiwa’ yaitu lingkaran equator yang membagi bola langit menjadi dua bagian yang sama besar, daerah yang menjadi permulaan perhitungan lintang atau lintang 0º. Dinamakan falaki mu’addal an-nahar karena apabila matahari berada pada lingkaran ini maka siang dna malam sama untuk seluruh tempat.

[13]Perubahan deklinasi matahari mengakibatkan pula perubahan dalam perbandingan antara panjangnya busur siang dan malam. Oleh karena itu, siang hari tidak sama panjangnya bagi suatu tempat selama satu tahun, adakalnay panjang adakalanya pendek. Hanya tempat-tempat yang terletak di khatulistiwa yang panjang siang dan malam selalu sama. (Abdur Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, 16)





Hello world!

28 11 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!